Tanggal 29 Desember 2018, Sebenarnya kami berencana ke Nara atau Osaka karena dekat, tapi karena list di Kyoto saja belum selesai, maka dengan berat hati rencana ke Nara atau Osaka dibatalkan. Yang akan dilakukan hari ini adalah ke Arashiyama dan dilanjutkan ke Gion. Tapi yang paling penting sebenarnya adalah cari makan yang benar, karena kemarin tidak makan makanan yang berat, dan rasanya hari ini lafarrr berat.

Pagi-pagi ketika buka jendela sisa hujan salju semalam masih ada. Atap rumah-rumah berwarna sedikit putih, es serut itu juga masih sedikit menumpuk di bawah jendela kamar kami. Setelah siap-siap, kami masih mencoba mengunjungi halal kari udon yang kemarin tutup, eh sampai di lokasi ternyata emang masih tutup, padahal seharusnya sudah jam buka. Yah mungkin memang sudah nggak buka lagi atau gimana nggak tau. Ya udah jadi diputuskan mau makan di Arashiyama saja.

Untuk ke Arashiyama kami kembali naik kereta JR Nara Line ke stasiun Kyoto. Kemudian ganti kereta JR Sagano Line ke stasiun Saga Arashiyama. Sesampainya di sana, udaranya gila lebih dingin ternyata. Nyari tempat makan dulu supaya kuat menghadapi hidup, eh kuat jalan maksudnya. Seperti biasa, kalau nyari lokasi pasti tersesat dulu ngikutin jalur GPS yang kadang ngawur kadang benar, jalannya lumayan jauh ternyata dan alhamdulillah akhirnya ketemu dengan restoran Yoshiya Arashiyama yang halal. Pantas saja di sini lebih dingin, karena setelah melihat ke samping ada sungai dan daerah tersebut dikelilingi perbukitan. Matahari memang bersinar, tapi hanya untuk menerangi, sama sekali tidak menghangatkan, walau kami sudah berjemur. Restoran Yoshiya Arashiyama masuknya dari tengah, jangan dari samping seperti kami. Kenapa kami dari samping, karena di GPS nunjuknya pintu itu, untung lagi-lagi ada orang baik, Bapak-bapak yang ngasih tahu, kalau mau makan lewat pintu tengah yang lebih ramai.

Suasana Arashiyama di pinggir sungai


Suasananya memang ramai, karena restoran itu juga sekaligus toko yang menjual pakaian dan merchandise. Banyak juga orang Indonesia muslim yang makan di sana. Pegawainya pun ada orang Indonesia, di seragam mereka ada tanda bendera Bahasa yang dikuasai pegawainya. Mbak yang melayani kami memakai kerudung, tentu saja orang Indonesia, di seragamnya ada bendera Indonesianya. Aku tidak ingat memesan menu apa, yang jelas nasi ayam. Isinya ada nasi, ayam, terung, paprika, bawang bombay dan tambahan mangkuk lain berisi tahu dingin, minumnya dikasih air putih dengan aroma teh hijau hangat. Makan nasinya pakai sumpit tidak sulit, karena nasinya bergumpal. Kalau dalam keadaan normal, pasti terung, paprika dan bawang bombay akan kusingkirkan tidak kumakan, tapi saat itu karena sangat lapar dan butuh energi, semua kumakan habis yang tersisa hanya mangkuknya. Kalau aku makan nasi, Dilla memilih makan udon dengan udang besar yang pasti akan membuat alergiku kumat kalau aku nekat makan juga. Setelah makan kami akan sholat, sudah nanya tadi ke mbaknya, ada tempat sholat khusus, nanti akan diantar kalau sudah selesai makan dan bayar. Tempatnya terkunci terpassword, jadi memang harus diantar kalau mau sholat di sana. Tidak ada mukena, jadi harus pinjam atau bawa sendiri. Ruangannya terpisah perempuan dan laki-laki. Tempat air wudhu seperti pancuran bambu yang airnya mengalir terus. Jangan tanya suhu airnya, air di kulkas sudah pasti kalah tingkat kedinginannya. Selesai sholat kami ke toilet di depannya dan aku tertarik dengan petunjuk toiletnya untuk perempuan dan laki-laki yang cukup unik, yang pasti hanya ada di Jepang. Jadi yang masuk pakaiannya harus menyesuaikan ya.... hahaha...

Makananku sebelum dimakan


Tempat sholat di Yoshiya Arashiyama


Toilet cowok


Toilet cewek


Selesai makan kami keluar dari restoran dan rasanya menyesal, pengen masuk lagi. Dingin gilakkk.... Ini siapa sih yang naruh kulkas di luar!!!... *marah sama rumput*... Mungkin kalau dihitung kata-kata dingin di blog ini sudah ratusan, tapi aku masih belum bisa move on membayangkan rasa dingin di sana sambil menulis cerita ini. Acara foto-foto jadi tidak maksimal karena menahan dingin, padahal pemandangan di sana sangat bagus dan unik. Saking dinginnya Jepang,  minimarket biasanya kalau jual minuman yang di kulkas dingin, jadi terbalik jual minuman hangat.  Di dekat restoran Yoshiya Arashiyama juga terdapat banyak toko merchandise.  Di salah satu toko aku melihat ada merchandise berbentuk kayu kecil pajangan dengan tulisan nama dan terjemahan nama tersebut dalam tulisan Jepang,  misal Peter, Alice dan lain-lain, sayang menurutku nggak lengkap karena nama Annie nggak ada di sana....

Tujuan wisata kami di Arashiyama ada dua, yaitu Tenryuji Temple dan Bamboo Forest. Pengennya menyewa kimono di sini untuk dipakai jalan. Tapi entah kenapa ya, kok ribet sendiri, nyari lokasi aja sudah repot dan sibuk menahan dingin jadi pengen cepat selesai, jadi nggak kepikir lagi mau nyewa kimono padahal awalnya pengen. Sama seperti Fushimi Inari, Arashiyama juga daerah turis. Banyak sekali turis ada di sana. Tidak sulit menemukan lokasi Tenryuji Temple, ikuti saja arus manusia, pasti sampai. Pemandangannya sangat khas Jepang, rumah-rumah, kuil dan pepohonan yang daunnya sudah mulai berguguran. Tapi kami memutuskan tidak ikut masuk ke pintu utama, karena masuknya berbayar dan sudah cukup puas foto-foto di sana.

Pemandangan sekitar Tenryuji Temple


Numpang foto ya


Lanjut ke Bamboo Forest, lebih ramai lagi, malah ada penyewaan becak Jepang yang ditarik manusia, khusus untuk turis di sana, namanya jinrikisha. Seperti yang diketahui, abang penariknya memakai jubah khas dan tentu saja ramah. Masuk ke area bamboo forest seperti memasuki lorong pedesaan, Dilla sudah ngoceh ngawur bilang kalau suasananya mirip dusun mbahnya di Jawa... hahaha.... Untuk ngambil foto, sama seperti di Fushimi Inari, cukup sulit menunggu orang-orang yang lewat agar fotonya kelihatan kita sendiri. Untungnya di sana semua orang punya toleransi, kalau ada yang ngambil foto, mereka jalannya stop dulu. Banyak orang-orang Indonesia di sana dan seperti biasa kalau ketemu sesama muslim berkerudung, kami pasti saling senyum.

Abang penarik jinrikisha


Sebenarnya ini ramai loh


Masih ada satu tempat lagi yang akan kami kunjungi, dan karena malam di Jepang jam setengah 5 sore ya saat musim dingin... maka kami harus bergegas supaya tidak kemalaman. Keluar dari bamboo forest banyak ketemu jajanan lagi, kami mampir beli mochi strawberry berwarna warni. Sambil menunggu aku melihat banyak turis yang memakai kimono, sekalian berfoto dengan rumah-rumah khas Jepang di sana. Kalau muka Asia sih nggak kelihatan ya, tapi ini juga ada yang bukan Asia yang menggunakan kimono.

Untuk kembali ke stasiun JR, kami sudah punya rutenya di GPS, tapi tetap nanya ke ibu penjual mochi. Dia berusaha menjawab dengan Bahasa Jepang dan Dilla menyimak. "Ettoooo...." artinya dia lagi mikir, lewat jalan itu kemudian belok katanya. Tuh kan, walau terkendala bahasa, penduduk di sana pasti bantu kalau kita minta bantuan. Sambil makan mochi, kami jalan. Jalan makan mochi, nahan dingin, sambil megang hp ngeliat GPS tanpa sarung tangan itu rasanya seperti di neraka, neraka versi dingin tapi. Tangan udah beku, hidung sudah tidak karuan rasanya, masih berusaha makan mochi yang rasanya juga seperti baru keluar dari freezer, akhirnya Dilla yang ambil alih melihat GPS karena secara fisik, dia juga lebih kuat.

Mochi di Arashiyama


Suasana yang kami lewati di Arashiyama


Untuk ke Gion, kami naik JR Sagano Line kembali ke stasiun Kyoto, kemudian lanjut ke JR Nara Line ke stasiun Tofukuji dan pindah lagi Keihan Line yang tidak dicover JR Pass menuju ke stasiun Gion Shijo. Di stasiun Kyoto saat bertanya, bagian informasinya juga ada bule yang bantu jawab dengan Bahasa Inggris, tapi petugas lainnya juga lancar kok Bahasa Inggrisnya. Kami cuma nanya sedikit, mereka jawabnya lengkap plus dikasih map nya, Arigato deh atas bantunannya *bungkuk 3 kali*. Kali ini kami sudah lebih cerdas dibanding kemarin, jadi kami beli tiket Keihan Line di Stasiun Kyoto, dan ternyata operasi mesinnya mudah kok, dasar saja kami kemarin bego bawaan capek ngangkut koper 20 kg. Bentuk tiket sekali jalannya kertas kecil dan harganya 210 JPY. Sama seperti koin plastik di Malaysia yang di tap dulu kemudian dicemplungin kalau sudah sampai, tiket ini akan dimasukkan ke mesinnya saat melewati gate dan tiketnya akan keluar lagi, kemudian akan ditelan mesinnya setelah sampai di tujuan.

Tiket Keihan Line


Kami sampai ke Gion saat hari mulai menggelap. Ngambil foto di sana dengan latar belakang hampir sunset dengan pemandangan khas rumah-rumah Jepang itu bikin betah. Kalau nggak ingat waktu dan cuaca, pasti kami lama foto-fotonya, tapi karena lagi-lagi sudah capek dan lapar, maka kami stop dulu ngambil fotonya. Nggak ketemu Geisha di sana, yang kami cari adalah tempat makan Naritaya. Kali ini GPS nya melenceng jauh. Naritaya ramen yang kami cari titiknya berbeda kira-kira 50 meter. Hari mulai gelap jadi kami bertanya kepada penduduk di sana. Dapatnya Naritaya Yakiniku yang juga halal, udah kepalang masuk ke sana, baru tau kalau yang ramen di sebelahnya. Ya udahlah ya, walaupun rasanya belum ke Jepang kalau belum makan ramen, kami akan usaha cari lagi ramennya di Tokyo saja. Restoran yakiniku nya sepertinya dikelola bule, kami tidak memesan menu yang dipanggang, tapi meatbowl yakiniku dengan nasi. Sementara keluarga Indonesia sebelah kami, sibuk manggang-manggang sendiri. Oh ya di Kyoto, tiap kali masuk tempat makan, mereka selalu ngasih tau kalau di bawah meja ada keranjang untuk taruh tas, jadi pengunjung nggak ribet mau taruh tas dimana. Sebelum makanan datang, si bule ngasih kami handuk kecil panas, buat mandi??.... bukannnn!!!.... handuknya kupakai ditangan dan ilmu fisika bekerja,.... tanganku yang beku membuat handuk yang mulanya panas, gantian menjadi seperti baru dicelup air es... hehehe... *boleh nggak minta lagi handuk panasnya buat muka*

Gion di kala senja


Keranjang tas di bawah meja


Makananku di Gion


Selesai makan, masih penasaran sama ramen di sebelah, jadi mampir dulu.... ramen Naritaya yang mengelolanya orang Malaysia. Karena kami balas dendam kemarin makannya kacau, maka kami berencana mau bawa pulang ramennya siapa tahu tengah malam perut minta diisi lagi... Tapi karena yang bisa dibawa pulang semuanya soupless, alias ramennya tanpa kuah... ya nggak jadi deh. Makan ramennya ditunda di Tokyo saja. Padahal ya, bos sudah WA diriku, nanya sudah makan ramen belum,... *penting*, jadi aku belum bisa laporan ke bos kalau aku sudah makan ramen... hehehe....

Balik ke hotel sudah gelap dan untung tidak hujan salju lagi. Kami hanya naik kereta satu kali, dari stasiun Gion Shijo beli tiket sekali jalan menuju stasiun Fushimi Inari yang sudah dekat ke hotel kami. Udara malam membuat suasana makin dingin, jadi setelah turun dari kereta, saat palang penghalang kereta untuk menyeberang jalan sudah dibuka, kami lari menuju hotel.

video youtube

Lanjut Part 7

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...