Salah satu film seri favoritku jaman duluuuuu (saking tuanya aku) adalah "Suddenly Susan". Yang main adalah Broke Shields, dan salah satu episodenya adalah kerjaan gaje nya Susan yang buat list obsesinya di masa lalu. Diantaranya kalau tidak salah adalah pernah kencan dengan artis siapa gitu, manjat gunung apa..., punya papan nama sendiri di meja kerja, dan lain-lain. Kemudian ternyata list tersebut ditemukannya lagi saat itu, dan satupun belum ada yang berhasil dicapainya. Bagaimana dengan akuuuu...

Saat ini yang jadi list ku adalah:
1. Ketemu jodoh
2. Ke Korea dan ke Mekah
4. Tamat studi lanjut
5. .... entahlah

Jadiii, maksudnya aku mau memperpanjang SIM, eh mimpiku... untuk tetap jalan-jalan. Ya karena belum ketemu jodoh dan studi lanjutku baru dimulai. Tulisan berantai mimpi gilaku inilah yang akan dibahas kali ini. Dari tempat-tempat yang sudah kuposting dengan jumlah foto 21 buah, Alhamdulillah ya Allah, sudah... eh baru 9 yang kesampaian... 4 sudah dibahas, kali ini dalam 2 tahun... sudah nambah 5 lagi.

Akhir tahun 2017 aku berhasil ke Macau dan Hong Kong, ke Shenzen ditolak mentah-mentah sehingga aku tidak bisa ke Windows of the World... *huh... cukup tahu.. * Macau, gambar yang kuposting adalah di The Venetian... dan aku akhirnya juga ke sana, walau tidak mencoba gondolanya. Berikut foto-fotonya, tapi nggak ada aku, soalnya saia sekarang lagi tidak narsis, untuk foto lengkapnya ada di postingan per liburan.

The Venetian


Lanjut nyebrang ke negara nomor dua favoritku saat ini, yaitu Hong Kong. Aku ke The Peak setelah sebelumnya rela antri berjam-jam mau naik tram dan bayar lagi untuk ke The Terrace.

The Peak


Yang terbaru, baru sebulan yang lalu. Aku ke negara favorit orang banyak, dan sekarang juga menjadi negara favoritku nomor satu yaitu negaranya Dora Emon, Shincan, Sinichi Kudo, Candy Candy, Satria Baja Hitam, Matsumoto Jun, Oshin,  banyak ya ternyata *capek nulisnya*... yaitu Jepang... Saat ini aku membayangkan sebulan yang lalu, aku sudah di Tokyo... kedinginan, datang kemalaman ke hotel dan siap-siap mau bobo, sementara di Palembang orang-orang baru ngangkat jemuran masing-masing. Ya sudahlah... kalau mau diingat-ingat jadinya mupeng terus... Balik lagi ke tema postingan kali ini, untuk Jepang aku pernah posting dua foto, yaitu Gunung Fuji dan Shibuya Crossing. Alhamdulillah ngeliat dua-duanya, walaupun Gunung Fuji dilihat dari Shinkansen menuju Kyoto.

Shibuya Crossing


Gunung Fuji


Negara lain yang kudatangi barusan adalah Brunei Darussalam. Negara pertama yang kudatangi nekat secara solo travelling. Obsesinya adalah melihat Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien yang akhirnya tercapai.

Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien


Selanjutnya adalah, aku akan terus mengejar mimpiku, walau tentu saja aku tidak akan bisa mengunjungi ke semua 21 tempat yang kurencanakan, tapi kan yang penting usaha dulu. Moga-moga uang, tenaga dan waktunya ada...

Subuh-subuh buka jendela, pemandangannya Pasar Kianggeh yang ternyata ramai. Habis sholat tidak tidur lagi, aku packing dan siap-siap karena pesawat Air Asia menuju ke Kuala Lumpur hari ini berangkat jam 9 lewat 20 menit. Beda waktu Brunei dengan Jepang sejam, jadi sama dengan Kuala Lumpur. Malam ini aku bakal tidur lagi di bandara KLIA 2. Aku check out jam 7 kurang, karena sopir baru bertugas jam 7 pagi. Uang deposit sebesar 20 BND kubelikan gantungan kunci dan magnet kulkas di Jubilee Hotel itulah. Ternyata sopirnya hari itu tidak enak badan dan aku menunggu sopir pengganti, yah nggak masalah juga sih, karena hotel ke bandara hanya berjarak 20 menit.

Pasar Kianggeh ramai saat Subuh



Sampai di bandara aku check in, kesialanku yang kedua selama di Brunei dimulai. Aturan di sana 7 kg gratis itu adalah tas tangan beserta tas pakaianku. Padahal selama ini tas tangan tidak pernah dihitung. Jadi total bawaanku adalah 9 kg lebih. Aku dikasih tahu itu adalah peraturan di sana, dan diberi dua pilihan, bayar bagasi 50 BND atau kurangi bawaan 2 kg. Oh My God, aku tidak punya lagi uang tunai 50 BND (sekitar Rp 500.000,- lebih), dan itu terlalu mahal, tapi aku tidak mau meninggalkan barang-barangku di sini. Aku coba ke atm, tapi sudah 2 atm kucoba tidak ada yang berhasil, padahal kartuku berlogo mastercard. Kartu atm lain yang berlogo visa, isinya tidak cukup untuk membeli bagasi. Jadiiii dengan berattt hati aku terpaksa meninggalkan barang paling berat yaitu celana jins ako ku. Ditambah pashmina tebal, tongsis, parfum, pelembab, shampo, dan beberapa barang kecil lain. Dengan terpaksa aku menghampiri petugas kebersihan, dan aku bilang bagasiku kelebihan, mereka boleh ambil barang-barangku kalau mau. Aku tidak mau pura-pura mengurangi bagasi, setelah check in kemudian ambil barang-barangku lagi, jadi aku berusaha untuk ikhlas, walaupun kalau dihitung, harga barang yang kutinggalkan juga hampir Rp 500.000,- Total bagasiku jadi 7,6 kg dan itu sudah masuk toleransi mereka, jumlah berat itu ditulis di boarding pass.

Selesai check in, aku tidak punya waktu untuk duduk lagi, aku masuk imigrasi dan menuju gate keberangkatan. Di gate keberangkatan, ternyata bawaan penumpang ditimbang lagi, dan ada ibu-ibu yang kasihan sekali, harus meninggalkan satu tas full makanan karena kelebihan bagasi juga. Akhirnya selamat tinggal Brunei, mungkin lain kali kunjunganku akan lebih menyenangkan karena aku sudah lebih berpengalaman dan jika tidak ketemu penganggu lagi.

Aku punya waktu seharian di KLIA 2. Untuk ke Kuala Lumpur aku sudah tidak punya keinginan jalan-jalan, koper akan kuambil malam nanti saja supaya aku bebas kemana-mana. Seven eleven langsung kelihatan ketika aku jalan-jalan di KLIA 2, maka titipan Ayu sudah bisa kubeli. Selanjutnya beli pena, karena penaku sudah habis tintanya, sementara aku masih perlu isi-isi form. Makan siang aku ke bumbu desa, kangen makan ayam sambal cabe ijo, tapi lumayan mahal yah, 28 MYR bersama air minum.

Pesawat parkir di KLIA 2


Menu makan siang bumbu desa


Keliling-keliling tidak karuan aku semakin khatam dengan KLIA 2. Sangat nyaman selama di sana, semua ada, mau shopping apapun bisa. Jaket musim dingin Uniqlo di Tokyo harganya 5.000 JPY (Rp 665.000,-) di KLIA setelah kulihat lagi 400 MYR (Rp 1.400.000,-) luar biasa... Eh tapi semoga aku salah lihat ya. Makan malam aku makan di KFC, menunya rasanya hampir sama seperti yang kumakan di Brunei, tapi aku tidak ingat namanya, pokoknya ada mashed potato nya. Yang meladeni aku di KFC cewek keturunan India yang logatnya sangat tidak kumengerti. Dia sepertinya kesal aku tidak mengerti ucapannya, tapi aku nggak peduli, dia kok yang ngomong nggak jelas, atau memang kupingku masih terbiasa ngedengerin logat Jepang... *Peluk patung Hachiko*. Setelah makan, jangan lupa beresi sendiri semuanya. Sampahnya dibuang dan nampannya dikembalikan ke tempatnya.

Makan malamku di KLIA 2


Untuk mengisi waktu,  aku duduk nongkrong di depan board kedatangan. Kurang kerjaan ngeliatin pesawat dari mana saja yang datang. Kemudian selesai sholat Isya, aku ambil koper di penitipan dan setelah bosan bengong ngitung orang lewat, aku bersiap tidur. Tidurnya lagi-lagi di Mushola, maaf ya soalnya aku tidak nyaman tidur di tempat lain. Lagipula aku tidak mengganggu orang yang emang mau sholat karena saat aku ke mushola, hari memang sudah sangat malam dan bukan aku saja yang tidur di sana.

Jam 3 shubuh aku siap-siap lagi, Palembang aku datang... Tiap kali menginap di bandara aku tidak mandi.  Seharusnya waktu di KLIA seminggu yang lalu aku mandi,  karena bakal ke Jepang,  tapi nggak nemu shower di sana... Kali ini lagi-lagi aku malas mandi karena akan langsung pulang ke rumah, walau shower di KLIA 2 banyak,  aku cuma ganti baju dan dandan,  nggak pake parfum karena parfumku kuhibahkan di Brunei... Aku sedih pulang kalau ingat Jepang sebenarnya, kalau ada waktu dan rejeki, aku tentu akan ke sana lagi. Bagasi Air Asia ke Palembang sudah kubeli 25 kg. Koper beserta tas pakaian tambahan total beratnya 23 kg. Check in selesai, aku ke bumbu desa lagi, kali ini beli bubur ayam dan teh tarik, harganya lebih murah dibanding makan siang kemarin.

Sarapanku sebelum pulang


Proses imigrasi berlangsung cepat, mungkin mereka bosan ngeliat aku 3 kali bolak-balik Malaysia dalam 2 minggu ini. Paspor baruku sudah 6 kali kena cap keluar masuk Malaysia, 2 kali Brunei, 1 kali Indonesia ditambah nanti pada saat masuk, 1 kali Jepang dan 1 stiker masuk Jepang, karena masuk Jepang tidak dicap, penggantinya stiker. Di paspor juga terstaples struk bebas pajak dari Laox untuk dilihat pihak bea cukai perihal barang belanjaanku.

Setelah sholat Shubuh di surau depan gate L5, pesawat boarding. Dipesawat, kursiku dekat jendela, tapi ada nenek duduk di gang di barisan kursiku, cucunya di tengah. Bapak diseberang kursi minta keiklasanku tukar tempat duduk, karena ibunya, nenek tersebut pakai kursi roda, sehingga kalau aku mau duduk di kursiku, neneknya harus berdiri dulu,  kan kasihan. yah nggak apa-apalah ya. ini kan perjalanan pulang, aku sudah biasa ngeliat Palembang. Maka cucu nenek duduk di sebelah jendela,  neneknya geser,  aku yang di gang.

Perjalanan pulang cuma sebentar, tahu-tahu pesawat sudah mendarat, aku sudah di Palembang lagi. Proses imigrasi dan ambil bagasi cepat saja. Jam 8 pagi semua sudah beres dan aku naik LRT menuju stasiun LRT Polresta, karena aku dijemput di sana. Semenjak ada LRT, aku malas diantar pakai mobil ke bandara, lebih enak pakai LRT. Di LRT ketemu sama mbak-mbak dari Riau dan Jakarta yang juga pertama kali naik LRT dan mau ke Picon. Kami ngobrol-ngobrol menyenangkan sepanjang jalan. Jangan dibandingkan kecepatan LRT yang masih lambat dibanding kereta Jepang, pemakaian LRT secara fungsional juga masih belum maksimal, berbeda dengan Jepang dimana kereta adalah transportasi yang sangat utama. Tapi yang jelas Palembang boleh bangga punya LRT, waktu kedatangan antar stasiunnya juga sangat tepat.

Tumpukan koperku dan orang lain di LRT


LRT nya sampai...


Demikianlah perjalananku akhir tahun 2018 dan awal tahun 2019. Kalau dihitung berapa total aku naik pesawat, jawabannya 6 kali, dan berapa lama waktunya 6 kali naik pesawat itu, jawabannya adalah hampir 23 jam.... *nyari bantal* Aku akan jalan lagi kapan-kapan kalau uang dan waktunya ada. Kemana? tentu saja tempat-tempat baru, tapi yang jelas Jepang menjadi sebagai Negara paling atas dalam list favoritku.

Pagi-pagi aku dapat koran untuk kubaca dari hotel. Kukira dalam Bahasa Melayu, ternyata dalam Bahasa Inggris. Hari ini adalah jadwal wisataku, tapi aku memutuskan akan keluar siang saja. Jadi untuk mengisi waktu aku sibuk bersihin rambut yang ketombe dan rontoknya  parah serta bersihin komedo yang makin bertumpuk lama nggak dibersihkan. Sudah bosan nonton TV aku buka drama Korea lanjut nonton Terius Behind Me. Kemudian cerita-cerita sedikit keadaanku ke Elsa dan Dilla. Ayu tidak tahu aku di Brunei, jadi dia nitip roti ikan bilis yang ada di seven eleven di Kuala Lumpur. Gampanglah soal itu, toh di bandara pasti ada kan. Pemandangan dari hotel setelah diamati lagi ternyata adalah pasar kianggeh, tapi siang itu sepi sekali. Kata orang hotel, pasar itu ramainya Shubuh.

Koran dari hotel


Pemandangan Pasar Kianggeh dari kamar hotel


Setelah siang dan berharap tidak ketemu si pengganggu kemarin, aku turun dan mulai menghidupkan GPS menuju Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien. Di sepanjang jalan, kalau kuamati, orang Brunei sepertinya semuanya punya mobil dan mobilnya bagus-bagus. Saat akan menyeberang di lampu merah, kok lampu untuk orang menyeberang tidak pernah hijau, akhirnya aku jalan sedikit dan menyeberang dari tengah. Dan pengalamanku,  beberapa kali aku menyeberang, para pengguna mobil selau mendahulukan penyeberang. Jadi sepertinya pejalan kaki sangat dihormati di sana. Kemudian juga, walau jalanan cenderung sepi, tapi mobil-mobil di sana tetap tertib mengikuti lampu merah. Luar biasa ya mereka, sudah kaya tapi tidak sombong dan taat mengikuti aturan.

Di Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien aku sedih, nggak ada yang fotoin, cuma bisa pakai tongsis, karena terlalu sepi, yang ada hanya para pekerja yang menatap aku seperti orang aneh.  Ada juga sih bule tadi di depan masjid, tapi pas jalan di bagian perahu masjid cuma aku yang di sana.... jadi tidak mungkin untuk meminta orang untuk ngambil fotoku di depan masjid. Sebenarnya aku juga ingin masuk ke Masjid dan lebih lama berada di sana, tapi terus terang aku parno, takut ketemu lagi sama orang kemarin, jadi niat berlama-lama di sana kubatalkan dan aku langsung cuss dari sana.

Yang penting sudah berkunjung ke destinasi utama selama di Brunei, kemudian lanjut ke mallnya, Yayasan Hassanal Bolkiah, niatnya cari merchandise sedikit. Mallnya kecil dan cenderung sepi. Aku beli lonceng dinner di sana dan kemudian makan siang KFC. Karena aku juga mengoleksi koin-koin berbagai negara, kasir KFC tidak keberatan saat aku menukar uang koin di sana. Setelah semua kepentingan selesai, aku balik ke hotel. Rencana ke Royal Regalia Museum kubatalkan, dengan alasan yang sama kenapa aku tidak mau berlama-lama di Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien. Benar-benar mengesalkan rasanya, liburan tapi pikiran was-was, mungkin sepertinya aku berpikir berlebihan... tapi aku tidak mau mengambil resiko apapun dalam perjalanan kali ini.


Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien


Akhirnya aku ke sana



Makan siangku hari itu


Demi ini aku ke Jepang dan Brunei
 

video youtube

Lanjut Part 12

Aku berencana naik KLIA express untuk pindah ke KLIA 2, tapi masalahnya pesawat dari Tokyo sampai di Kuala Lumpur jam 12 malam, sementara jadwal terakhir KLIA express adalah jam 1 lewat 10 menit tengah malam. Maka aku bertekad akan mengurus semuanya secepat mungkin agar terkejar keretanya.

Tapi ya namanya nasib mau bagaimana lagi, pesawat ANA nya tepat waktu mendarat di Kuala Lumpur seperti tertera pada estimasi di layar GPS pesawat, tapi aku lupa di KLIA harus naik aero train dulu. Ini antri dan menunggu, sampai di terminal masuk pemeriksaan imigrasi tidak lama, tapii bagasiku yang lama... Hampir setengah jam aku menunggu koper dan tas tambahanku. Saat aku sudah turun lift di stasiun KLIA express, kereta terakhir baru berangkat. Yo wes, aku terpaksa naik free shuttle bus di level 1 pintu 4 KLIA. Shuttle bus beroperasi 24 jam,  setiap 10 menit sekali.  Ternyata tidak semenakutkan yang kukira, walau tengah malam, tapi banyak yang menggunakan shuttle bus pindah ke KLIA 2.

Aku melihat ukuran suhu di layar dekat sopir bis, Ya Allah 28 derajat, aku sudah kembali ke habitatku, mulai berkeringat sementara aku masih pakai coat dan boots. Sesampainya di KLIA 2, aku langsung bongkar koper untuk menyimpan peralatan musim dinginku, membuka coat dan mengganti boots dengan sendal. Setelah kembali mengunci koper, sekarang saatnya mencari tempat penitipan koper.

Posisinya ada di dekat area kedatangan domestik sebelah kanan di level 2. Satu hari di cas 38 MYR, karena aku ke Brunei 2 malam, 3 hari, maka aku harus membayar 114 MYR. Ini lebih mahal sedikit dibanding bayar bagasi ke Brunei, tapi aku tidak harus seret-seret koper lagi.

Setelah beres, aku bisa tidur. Kali ini di mushola, nggak peduli lagi kalau sebenarnya nggak boleh tidur di Mushola. Kira-kira hampir jam 4, aku terbangun dan langsung beres-beres lagi. Malas mandi, hanya dandan dan ganti baju. Check In cuma ngeliat dimana gateku karena aku hanya bawa tas tangan dan tas pakaian dengan berat dibawah 7 kg. Pengen sarapan dulu di bumbu desa, tapi tidak sempat lagi, jadi aku masuk imigrasi dan ke ruang tunggu, rencananya sarapan di pesawat saja beli nasi lemak. Untuk sholat shubuh, waktunya sangat mepet, waktu sholat jam 6, sedangkan boarding sudah mulai dan kata petugasnya pintu ditutup jam 6 lewat 10 saat aku nanya. Jadiii... sholatnya dilakukan cepat-cepat, untung banyak surau di sekitar sana. Saat aku selesai, ada yang mau meminjam mukena terpaksa aku tolak, karena aku sudah mau berangkat, sementara mukena surau sudah habis dipakai pengunjung lain.

Perjalanan ke Brunei 2 jam 20 menit, karena aku baru dari perjalanan 7 jam lebih semalam, rasanya ini bukan apa-apa. Selesai sarapan di pesawat aku tidur karena ternyata aku sangat lelah. Saat pesawat akan mendarat, aku sibuk berpikir apa yang kulakukan sebenarnya. Travelling sendirian ke Brunei memang pernah terpikir olehku, tapi aku tidak menyangka bakal benar-benar terjadi. Jadi rencananya aku hanya akan ke beberapa tempat di Brunei. Masjid Sultan Omar Ali Saifuddien, Pasar Kianggeh, Mall Yayasan Hassanal Bolkiah dan royal regalia museum. Semuanya bisa jalan kaki dari Jubilee hotel. Jubilee hotel juga ada service antar jemput airport, jadi aku tidak pusing mikirin transport, mengingat transport di Brunei susah.

Sesampainya di Brunei, banyak terparkir pesawat Royal Brunei. Rasanya semua pesawat yang kulihat Royal Brunei, yang lain cuma satu, Air Asia yang baru kunaiki. Setelah masuk terminal, proses imigrasi tidak terlalu cerewet karena aku menunjukkan kalau aku punya tiket pulang dua hari lagi. Selanjutnya menukar uang di money changer yang berada di lantai 2 dekat keberangkatan. Aku menukar sisa uang 5.000 Yen dan ditambah 100 Ringgit malaysia ke Dollar Brunei. Di sana menyebutnya dollar, padahal di uangnya tertera ringgit. Uang Singapura juga bisa dipakai di sana. Kurs rupiah ke dollar Brunei 10 ribu lebih, hampir sama seperti dollar Singapura.

Karena Telkomsel Roaming Asia Australia tidak berlaku di Brunei, aku terpaksa beli kartu baru. Namanya progresif, dan harganya muahal... 25 BND. Aku minta yang 10 BND untuk seminggu, tapi katanya nggak ada lagi. Duh... untuk kartu saja sudah mahal ya... gimana yang lain. Tapi karena terpaksa akhirnya aku beli juga, setelah dapat sambungan telpon dan internet, aku menelpon hotel Jubilee minta dijemput.

Area kedatangan bandara Brunei


Pemandangan dari airport ke hotel


Pemandangan kota


Sesampainya di hotel, aku dapat kamar di lantai 5, harus kasih deposit 20 BND... ya ampun keluar duit lagi.... Untung aku tidak perlu mikir transport dan makanan di sana tidak mahal-mahal jadi aku merasa tidak perlu harus ambil uang lagi di atm. Hotelnya bergaya lama, tapi semuanya lengkap. Aku berencana banyak-banyak istirahat selama di Brunei, tapi sebelumya aku mau cari makan dulu. Nasi katok seharga 1 BND dan berkunjung ke pasar Kianggeh.

Di bawah, di dekat resepsionis juga ada minimarket tempat aku membeli air minum. Kemudian dengan GPS aku mulai mencari pasar kianggeh dan nasi katok. Kesialanku dimulai, dijalan aku ketemu orang sedeng yang tiba-tiba ngajak ngomong pakai bahasa Melayu kalau orang yang pakai jaket hitam itu keliling-keliling dari tadi, dia menunjuk seseorang. Ya karena aku orang pendatang, aku cuma sedikit menanggapi dan senyum, kemudian berbelok kanan. Ternyata jalanku salah, seharusnya aku belok kiri, baru mengamati pasar kianggeh yang dekat sungai dan sepertinya wisata sungai memang digalakkan di Brunei, eh si mamang muncul lagi menegur, kali ini aku lewat saja menuju pasar kianggeh kemudian membeli nasi ikan teri dan telur seharga 1 BND, masih belum puas aku mau nyari nasi katok untuk sekalian makan malam, pake GPS akhirnya ketemu. Tapi yang bikin emosi tuh orang ada lagi, kali ini dia nanya aku orang mana, kujawab sekilas aku orang Indonesia, dan soal dia menyebut ketemu aku terus aku jawab hanya kebetulan. Saat aku memesan nasi katok, dia lewat sambil bilang dia lapar belum makan. Tuh kan gengges banget, kalau kukasih nasiku nanti dia makin mengganggu, maka aku cuma cuek dan memutuskan akan langsung pulang ke hotel. Dan tebak saudara-saudara, dalam perjalanan pulang dia melewati aku dan bilang ketemu lagi ke 4 kalinya... terus dia ngoceh apa soal ngambil mobil mau ke mall atau apa entah tidak kusimak, begitu dia berbelok,  aku lari menuju hotel. Di hotel untuk pertama kalinya aku berpikir untuk pulang saja, aku tidak merasa nyaman sendirian dengan kondisi hari itu. Aku beberapa kali travelling sendirian ke Surabaya dan Jogja, tapi tidak pernah merasa takut seperti itu.

Nasi katok 1 BND


Akhirnya aku sholat dan berpikir jernih, bahwa aku tidak akan terpengaruh dengan kejadian seperti ini. Kuanggap ini sebagai pengalaman dan bagian dari travelingku. Saking aku capeknya selesai aku makan nasi katok, yang merupakan nasi ayam dengan saos, aku tertidur dan terbangun malamnya. Saat akan makan nasi telurnya sudah basi, padahal kelihatannya enak. Acara TV kupikir akan dikasih channel khas Brunei, ternyata tidak, aku cuma dikasih dua channel, Fox movies dan Fox life. Jadi kalau tidak nonton film seperti iron man dan black panther, aku nonton masterchef US dan Greys Anatomy sampai bosan.

Lanjut Part 11

1 Januari 2019, aku ada di Tokyo... *dan masih sendiri*... Menikmati sarapan kebab sambil nonton TV. Ngobrol sama Dilla, berdoa semoga pada perjalanan berikutnya aku tidak sama Dilla lagi, kami sudah sama suami masing-masing dan aku jalannya ke Mekkah... amin ya Allah.... Tahun ini aku sepertinya akan berada di 4 negara, setelah Jepang, lanjut Malaysia untuk transit dan lanjut ke Brunei Darussalam sebelum balik ke Palembang. Nanti kalau sudah masuk ke kampus kerjaan menumpuk, disuruh lanjut sekolah lagi dan lain-lain, jadi aku mau refreshing dulu sekarang.

Tontonan TV kami pagi ini adalah matahari pertama yang bersinar di Jepang dengan pengambilan gambar matahari tepat di atas Gunung Fuji. Sambil makan, Dilla ngoceh menerjemahkan, setelah itu baru orang Jepang boleh makan. Nah karena aku bukan orang Jepang nggak apa-apakan kalau tadi aku sudah makan. Narita Express kami hari ini berangkat jam 12 siang. Jadi kami masih punya banyak waktu pagi-pagi.

Hari ini juga kami akan kembali ke pasar dekat Sensoji Temple, karena belum foto dengan gerbang Kaminarimon. Ini baru kusadari ketika melihat lampionnya beda dengan yang kami datangi kemarin. Setelah siap kami check out, good bye untuk hostel keren kami dan mulai jalan kembali menggeret koper plus tas tambahan sekarang. Karena tidak dikejar waktu, kami nyantai menuju ke gerbang Kaminarimon. Di jalan, di depan toko dan kedai makanan yang masih tutup aku tertarik mengambil foto tiruan sampel makanan yang banyak dipajang di sana. Mirip sekali dan sangat menggugah selera... tapi yah.... aslinya nggak halal.

Sampe di gerbang Kaminarimon, super rame sama manusia, Dilla sudah kehilangan selera fotonya, sementara aku masih semangat. Di sana juga ketemu dengan para penarik jinrikisha tapi yang ini lebih menarik dari di Arashiyama. Yang namanya abang becak kalau di Indonesia kan kita udah tahu, tapi di sini beda banget. Penarik jinrikisha nya adalah dedek dedek gemes super ramah. Masih muda-muda dan ganteng. Dengan menggunakan pakaian khasnya, mereka menawarkan angkutannya. Ketika melihat kami, salah satunya langsung menegur dengan ramah dan semangatnya...
"Beca beca...." tawarnya kepada kami. Nah ini.... pasti karena banyak orang Indonesia ke sini, jadi dia tahu dengan becak.
Kami tertawa. "Becak...." ralat Dilla "With K..."
"Yes Becak"... katanya tertawa "Where you wanna go"
"Too far" jawabku... "Airport"
Dia tertawa dan masih berusaha melucu mengatakan kalau dia akan antar, ya udah akhirnya kata kami antar ke stasiun saja, dia tertawa karena kali ini stasiun Asakusa ada di depan kami. Ya udahlah ya dek, lain kali kami akan naik jinrikisha kalau ditakdirkan ke sini lagi, tapi sekarang kami harus pergi dulu.... Luar biasa deh, mereka ini, aku yakin si dedek gemes ini pasti masih kuliah dan narik jinrikisha ini cuma part time saja. *lucu, pengen kantongi satu bawa pulang*

Matahari bersinar pertama kali di 2019


Sampel makanan


Gerbang Kaminarimon


Di stasiun Asakusa, kali ini kami memutuskan untuk menghemat tenaga. Nyari lift sampai dapat, nggak mau pakai tangga. Masa sih kereta bawah tanah nggak ada lift atau eskalator. Kalau nggak ketemu, kami nanya. Tuh kan ada, jadi perjalanan pulang nggak ada cerita capek bawa koper naik turun tangga. Di stasiun Asakusa ada banyak hiasan dinding yang menarik, tentu saja kami tidak akan lewatkan mengambil foto di sana sambil menunggu kereta.

Di stasiun Asakusa


Dari Ueno, kami kembali ke JR Yamanote Line menuju stasiun Tokyo untuk naik Narita Express. Keretanya bagus seperti selayaknya kereta menuju bandara. Di kereta juga ada jadwal untuk pesawat-pesawat yang akan terbang hari itu.

Di stasiun Tokyo


Di Narita express


Good bye Tokyo, aku akan kembali lagi kapan-kapan


Sesampainya di Narita terminal 2, kami akan pindah ke terminal 1 menggunakan free shuttle bus. Rekorku di Hong Kong yang tidak pernah naik mobil hampir disamai di Jepang ini, tapi karena pindah terminal di Narita, maka artinya kami kecicip juga 1 kali naik bis di Jepang. Sesampainya di terminal 1, kami mencari mushola dulu, dari bagian informasi kami dapat info ada di lantai 5. Prayer room tidak susah dicari, sudah ada sajadah dan tempat berwudhu, juga ada kursi seperti di surau-surau Malaysia untuk orang tua yang tidak bisa duduk bersimpuh, hanya saja tidak ada mukena, harus dibawa sendiri.

Narita airport


Prayer room at Narita


Proses Check in cuma sebentar, koper plus tas tambahan setelah ditimbang ternyata masih dibawah 23 kg. Jadi kami tinggal bawa tas bawaan masing-masing saja. Pesawatku take off jam 5 sore ke Kuala Lumpur, Dilla 40 menit kemudian ke Jakarta. Untuk makan kami akan makan udon halal yang ada di Narita terminal 1. Saat mencari lokasinya, ketemu dengan jualan merchandise untuk olimpiade Tokyo 2020. Maka tertariklah kami untuk beli sedikit oleh-oleh. Penjualnya kasih tahu, yang mana yang olympic dan yang mana yang paralympic. Aku mengorek-ngorek koin Yen dan alhamdulillah masih cukup untuk beli pin di sana. Jadi nanti saat olimpiade berlangsung, kami sudah duluan punya koleksi merchandisenya.

Merchandise Olimpiade Tokyo 2020


Tempat makan udon halal di Narita tidak susah dicari, saat akan memilih menu, ibu-ibu di belakangku kasih rekomendasi dalam Bahasa Inggris, menu yang ini ayam yang itu apa, dan lain-lain. Jadi aku bertanya "Are you Japanese?", dan dijawabnya kalau dia orang Jepang, tapi sering ke Malaysia dan sering bertemu orang berhijab. Tuh kan satu lagi ketemu orang baik yang bantu tanpa diminta, dia mungkin paham sulitnya orang muslim cari makan di sini.

Udon di Narita


Selesai makan, mangkuknya kami bawa sendiri kasih ke bagian dapurnya. Karena Dilla masih mau shopping menghabiskan waktu, sementara aku sudah mau menuju gateku, aku dan Dilla akhirnya berpamitan. Semoga kami selamat sampai tujuan masing-masing. Dilla besok sudah bisa sampai di rumah, sedangkan aku masih ngebolang tidak karuan.

Pesawat ANA yang akan menuju ke Kuala Lumpur


Di pesawat kali ini aku duduk di gang, dibagian tengah, sebelahku masih cowok Jepang, cuma terlalu cengengesan dan tidak karismatik sama sekali seperti cowok Jepang saat aku datang ke Jepang waktu itu. Pramugari mengecek namaku dan memastikan kalau aku memesan makanan halal, kemudian menempel stiker di kursi. Peragaan keselamatan di pesawat ditunjukkan melalui layar di depan kursi masing-masing. Lucu dan keren, safety demonstration videonya menggunakan kabuki dengan pakaian khas dan riasan tebalnya. Untuk makanan beratnya, kali ini dessertnya,... es krim green tea yang enak banget. Kegiatan selama di pesawat kali ini aku bisa tidur, selain nonton film. Tidur juga karena sudah malam dan nanti sampai di Kuala Lumpur tengah malam.

Makanan di pesawat All Nippon Airways


Sedih meninggalkan Jepang, karena aku merasa sangat betah. Kecuali cuaca ekstrimnya, semuanya menyenangkan. Orang-orangnya, suasananya, makanannya, keretanya, kotanya, sampai ke toiletnya semuanya akan bikin kangen. Dalam semua kisah travellingku, baru kali ini aku sangat terkesan dan berat untuk pulang. Semoga suatu saat aku bisa ke Jepang lagi, dan kalau bisa dengan seseorang spesialku. Dulu aku pernah mengira suatu tempat yang didatangi akan sangat berkesan tergantung dengan siapa kita ke sana, seperti dari Novel Asma Nadia dalam "Jilbab Traveler" tapi ada sesuatu yang tidak sepenuhnya tepat menurutku sekarang, karena ternyata tempat yang kita kunjungi pun akan sangat mempengaruhi kesan kunjungan kita.... Bayangkan saja orang Jepang yang  jual merchandise di Asakusa, kita beli satu, membungkuk terima kasihnya bisa sampai 3 kali... *sok bijak sambil nangis bombay*...

Lanjut part 10

Tau nggak sih, kalau selama di Kyoto aku mandi hanya satu kali... hahaha... *bangga*, maka setelah kembali ke Tokyo aku harus mandi dan sekalian cuci rambut. Tapi walau nggak mandi, dijamin deh, tidak bau, gimana mau bau, berkeringat saja tidak.

Jadwal hari ini adalah ke Sensoji Temple, Kaminarimon dan belanja di Laox Akihabara dan Daiso yang ada di Asakusa. Ke Ginza Dilla tidak mau, karena katanya tidak ada yang bisa dilihat. Sudah bisa belanja habis-habisan hari ini, karena besok kami pulang. Malam ini malam tahun baru, tapi sepertinya orang Jepang tidak berlebihan menyambutnya, kami pun memutuskan akan tidur saja karena juga nggak kuat mau berdingin-dingin tengah malam di luar.

Sensoji Temple berada di dekat stasiun Asakusa tempat kami turun kemarin. Karena kami sudah tahu jalannya, jadi kami santai saja. Sampai disana melewati banyak kedai merchandise seperti biasa kalau menuju ke tempat yang banyak didatangi turis. Hanya saja karena masih sangat pagi, masih banyak yang tutup.

Dari Sensoji Temple juga kelihatan Sky Tree Tower, kata Dilla kalau orang lama seperti aku, taunya Menara Tokyo, tapi drama-drama Jepang sekarang syutingnya sudah menggunakan Sky Tree Tower. Di Sensoji Temple, seperti di Fushimi Inari dan Arashiyama, penuh dengan turis, sepertinya ini adalah tempat wajib kalau ke Tokyo. Di bagian samping ada pagoda, dan di sekitaran kuil sudah banyak yang siap-siap buka lapak dagangannya, yang malam nanti pasti ramai seperti pasar malam.

Toko-toko menuju Sensoji Temple yang belum dibuka


Peta Sensoji Temple


Kuil Sensoji Temple


Pagodanya dengan pepohonan yang daunnya sudah gugur, keren ya


Nyempil diantara orang-orang


Itu lapak sudah mulai dibuka


Saat akan menuju stasiun kereta, kami ketemu kedai kebab lagi, kali ini aku jadi penganut sekte sesat, dengan makan dua macam karbohidrat, nasi ditambah kentang. Habis makan naik kereta jalur Ginza ke Ueno, di kereta aku terkesan dengan interiornya yang keren. Seperti kayu tapi sebenarnya bukan. Cuma karena orang-orang di kereta pada cool, jadi aku malu-malu ngambil fotonya.

Nasi, kentang dan ayam


Kereta jalur Ginza


Dari Ueno, ganti jalur JR lagi menuju Shinjuku dulu, karena Dilla mau ke Gu cari jaket dan tas. Padahal ya, ternyata Gu dan tentu saja Uniqlo itu ada dimana-mana, kami taunya seperti biasa, telat saat terakhir. Nungguin Dilla belanja itu ya, bisa ditinggal ke Brunei dulu trus balik lagi dia belum selesai saking lamanya. Tapi karena udara dalam mall hangat, aku jadi jinak dan ikut ngeliat-liat walau nggak mau beli, mengingat dompet berisi Yen sudah menipis, sementara aku masih harus ke Brunei dan tagihan kartu kredit sudah banyak. Habis dari sana, masih nyangkut di Starbuck beli tumbler. Untung ya nggak ada yang nitip tumbler ke aku dan aku kalau koleksi setiap negara bukan tumbler, tapi lonceng dinner.

Di Akihabara aku ada janji dengan Laox untuk memborong snack halalnya. Aku 7 bersaudara dengan 2 keponakan yang sudah berkeluarga, jadi artinya ada 8 keluarga yang akan dibelikan oleh-oleh, baik ya aku..... Nggak kuat kalau mau beli kaos atau tas, mahalnya itu loh, akhirnya aku putuskan setiap keluarga aku kasih paket ramen, green tea dan coklat, tambahannya gantungan kunci dan magnet kulkas. Untuk teman-teman dan mahasiswa aku juga atur mau kasih apa saja, jadi sudah ku setting dari awal... Yang Jepang semua masyarakat tahu, jadi harus ada oleh-oleh, tapi yang Brunei aku perginya diam-diam, ngakunya ke Kuala Lumpur, jadi aku beli merchandisenya sedikit, yang tahu hanya Elsa, Dilla dan satu ayukku di rumah. Kembali ke Laox, selesai belanja, kasirnya minta pasporku untuk distaples dengan struknya, katanya sebagai tanda kalau barang di laox bebas pajak. Kemudian dia mengucapkan "terima kasih" dalam Bahasa Indonesia, setelah aku beranjak pergi, temannya nanya apa itu "terima kasih". Akihabara adalah markasnya anime kali ya, semuanya ada, gedung-gedungnya keren, banyak yang mengambil foto di sini,

Akihabara


Dari Akihabara, kami kembali ke hotel, lewat stasiun Tawaramachi. Setelah sholat kembali belanja, kali ini di Daiso yang kebanyakan barangnya seharga 100 JPY. Di Asakusa juga ada Matsumoto Kiyoshi ketika aku mencari titipan pelembab Yulis yang ketinggalan. Di Asakusa, juga ada Uniqlo dan toko buku tempat aku melihat komik Doraemon dan Detektif Conan, yang untungnya aku masih waras tidak kubeli. Untuk apa coba kalau kubeli, aku tidak mengerti sama sekali bahasanya.

Toko buku di Asakusa


Sore itu juga Dilla ngajak kembali ke Sensoji Temple karena adiknya mau juga dibelikan merchandise di sana, yo wes jadi ke sana lagi, menyaksikan matahari terbenam sambil menghindari lalu lalang orang. Makanan jajanan banyak dijumpai di sana, tentu saja banyak yang tidak halalnya. Dilla kembali membeli takoyaki, kali ini proses pembuatan takoyakinya kurekam pakai video, tentu saja setelah meminta izin ke Bapak penjualnya. Potongan daging guritanya besar-besar, diletakkan di atas wadah berdampingan dengan bahan-bahan lainnya yang salah satunya udang kering. Kalau nggak ingat alergi, aku juga sudah pasti ikut kalap jajan, tapi karena sadar punya alergi, jadi punya batas untuk makan apa saja di sana. Kemudian untuk makan malam, kami mencari jalan pintas kembali ke Naritaya tak jauh dari sana untuk membeli ramen lagi. Kali ini pesannya yang mangkuk medium dan tidak extend apapun. Abangnya sudah kenal kepada kami, dan selesai makan kami pamit karena besok sudah mau pulang *dadah dadah*

Naritaya ramen


Jalan pulang beli kebab dan nasi lagi di dekat hostel, untuk sarapan besok. Kemudian sampai di hostel beres-beres mengatur pakaian dan barang belanjaan menjadi dua tempat. Aku mengatur yang akan masih kugunakan ditaruh di tas tambahan, sementara yang sudah kotor dan tidak akan kugunakan lagi kusimpan dikoper untuk nantinya kutinggal ke Brunei dan kutitip di KLIA 2.

video youtube

Lanjut Part 9

Hari ini kami balik lagi ke Tokyo dengan jadwal shinkansen jam 10 pagi. Karena kemarin kami juga belum beli satupun merchandise di Fushimi Inari, jadi diputuskan kami akan ke Fushimi Inari lagi, sekedar untuk beli merchandise gerbang orange. Check out hanya menaruh kunci di suatu tempat, kemudian Dilla pamit ke Riko melalui line.

Fushimi Inari belum ramai, dan toko-toko belum buka, ya udah ini artinya kesempatan kami untuk foto-foto lagi sambil menunggu toko buka. Tapi jalur kali ini tidak jauh, hanya gerbang awal, terus balik lagi karena faktor bawa koper berat.

Karena ini sudah mau tahun baru, di sana juga sepertinya bakal ada ritual dan sepertinya bakal ramai. Sudah banyak yang siap-siap menggelar lapak, seperti membentang terpal berwarna biru. Sementara di kuilnya, beberapa orang memakai pakaian tradisional seperti akan menghadiri upacara khusus.

Gerbang depan Fushimi Inari


Persiapan upacara


Kuil bagian depan Fushimi Inari


Ke sini jangan pakai pakaian orange kalau nggak mau menghilang di foto


Setelah mendapatkan foto yang diinginkan, kami mulai menyusuri toko-toko yang masih tutup, alhamdulillah ada satu yang sudah buka, sehingga kami bisa beli merchandise khas Fushimi Inari di sana. Untuk menghargai penjualnya kami mengucapkan arigato setelah selesai, eh tau-tau penjualnya bilang terima kasih. Ini sepertinya akibat dari banyaknya turis Indonesia atau melayu ke sana, sehingga untuk menghargai pun mereka belajar ucapan terima kasih.

Segala urusan di Kyoto selesai, kami lanjut ke stasiun JR Inari yang kalau kubilang ke Dilla mengingatkanku akan stasiun Prabumulih... hehehe... Suasananya sangat kental kedaerahannya, tapi sangat bersih dan tidak lupa.... dinginnnn.... Tak lama keretanya datang, dan kami kembali transit ke stasiun Kyoto untuk naik Shinkansen Hikari ke Tokyo. Sama seperti di Tokyo, menunggu Shinkansen di Kyoto ada tempat khusus tertutup agar calon penumpang tidak kedinginan. Oh ya orang-orang di Jepang sangat suka mengajak peliharaan mereka jalan-jalan, banyak anjing yang diajak jalan pakai tali atau dimasukkan ke carry bag untuk dibawa ke tempat lain.

Stasiun JR Inari


Stasiun Kyoto


Di Shinkansen, siap-siap melihat pemandangan desa bersalju lagi (kata Dilla mungkin daerah Gifu) dan Gunung Fuji tentu saja. Cuma sayang kali ini Gunung Fujinya tertutup awan. Kemudian tak disangka kami ketemu orang-orang Palembang yang juga lagi liburan dengan rombongan berjumlah 17 orang di Shinkansen menuju Tokyo. Diantaranya ada orang tua mahasiswa Dilla... tujuan mereka akan ke Nagoya, hahaha... ternyata kebetulan itu selalu ada... jadi kami foto-foto sebagai bukti kalau kami bertemu wong kito di sana....

Lewat daerah bersalju tebal lagi


Kali ini Gunung Fuji tertutup awan


Tokyo kami datang lagi. Rasanya setelah mengalami cuaca di Kyoto, cuaca di Tokyo agak sedikitttt bersahabat... hahaha... yang jelas, dinginnya tidak sampai membuat menggigil. Sampai di Stasiun Tokyo, lanjut ke stasiun JR Ueno. Kami ingin memesan kursi Narita Express untuk tanggal 1 Januari, tapi karena stasiun Tokyo luar biasa ramainya, maka kami memilih akan melakukannya di stasiun JR Ueno. Kami memesan kursi untuk jam 12, dengan estimasi waktu yang cukup lama di Narita kami rencananya mau cari makan atau mungkin belanja dulu karena pesawat kami berangkat jam 5 sore, eh malam.

Tiket Narita Express


Tempat pelayanan JR pass


Setelah kursi dipesan, kami baru sadar bahwa di tiket itu tertera terminal 2, sedangkan pesawat kami ada di terminal 1. Ya okelah, artinya nanti kami harus pindah terminal, mungkin bisa naik shuttle bus, pokoknya urusan nanti.

Dari stasiun Ueno dengan kartu Suica, kali ini kami menggunakan Ginza line menuju Asakusa. Dari Ueno menuju 3 stasiun, yaitu Inaricho, Tawaramachi dan Asakusa. Jalur Ginza adalah metro subway, jalannya dibawah tanah, keretanya juga menurutku lebih baru dibanding kereta JR. Sesampainya di Asakusa, dari stasiun Asakusa nggak ketemu eskalator atau lift, bawa koper yang super berat naik turun tangga rasanya mau gila. Bawanya harus hati-hati takut jatuh. Eh, emang dasar orang Jepang itu baik-baik, ditengah tangga, ada ibu-ibu dan keluarganya yang mau bantu aku angkat koper karena sepertinya aku sangat butuh pertolongan. Tapi aku jadi nggak enak, maka kutolak bantuan mereka dan mengucapkan terima kasih. Duhhhh.... ngeliat orang-orang sini, ada nggak sih cowok Jepang baik yang ditakdirkan jadi jodohku di sini.... *ngelantur*

Setelah selamat dari cobaan bawa koper berat keluar dari stasiun Asakusa, ini masuk ke bagian paling parah. Saat mencari hotel, biasaaaaa.... tersesat dulu. Kali ini GPS nya ngawur total, ngasih petunjuknya entah kemana. Sudah 20 menit jalan ngggak sampe-sampe. Setelah mikir lagi, kan namanya Hostel Asakusa Station, kok jauh dari stasiun Asakusa, maka ulang lagi atur GPSnya kali ini, arahnya berlawanan dan makan waktu belasan menit jalan kaki. Dilla juga buka GPS dan arahnya sama, masa kali ini salah lagi.

Setelah baca lagi email respon dari hostel, aku sadar ada yang salah. Kami seharusnya berhenti di jalur Ginza tadi, di stasiun Tawaramachi yang hanya 4 menit jalan ke hostel. Stasiun Asakusa yang dimaksud dengan hostel itu bukan Ginza line, tapi Tsukuba Express.... *banting koper*

Akhirnya sampai juga di Hostel kami, & And Hostel Asakusa Station resepsionisnya masih muda-muda, gaya hostelnya juga keren. Tapi kami tetap memesan private room walaupun sempit dan dapat kamar di lantai 6 yang jangan khawatir dapat dicapai dengan lift. Dapur, laundry dan banyak kamar mandi shower ada di lantai 2, sementara toilet tersebar di semua lantai. Layaknya hostel, orang-orang banyak di sana, dan kami harus banyak ikut bergaul juga dong pastinya dengan sesama penghuni di sana.

Yang keren lagi adalah kunci kamarnya, kami dikasih hp Huawei yang sudah terinstal program aplikasi khusus hostel. Pertama kukira hp Dilla yang diinstal, tapi ternyata memang hp dari hostelnya. Isi aplikasinya banyak, mulai dari buka dan kunci pintu kamar, remote tv, remote AC, pengatur air humidifier, pengatur lampu sampai ke tirai jendela. Bagus nih nanti untuk dibawa jadi kasus saat di kelas ngajar mahasiswa, salah satu implementasi teknologi. TV nya biasalah siaran acara Jepang yang unik-unik dan AC nya bisa panas.... hore.... Tapi untuk handuk tidak dikasih, harus sewa, termasuk untuk colokan charger hp pun sewa seharga 300 JPY, yang gratis toiletries lengkap untuk mandi. Untuk acara TV, banyak berisi acara show, wawancara dan kegiatan orang-orang Jepang. Masih ada band Arashi dan aku baru melek mata kalau pemain bola Jepang itu ganteng-ganteng ternyata, Makoto Hasebe misalnya.... *selama ini aku kemana saja ya*


Colokan hp Kamar di Asakusa


Setelah jamak sholat Zuhur dan Ashar, kami lanjut ngukur jalan di Asakusa. Ke Sensoji Temple dan Kaminarimon besok saja, sekarang saatnya nyari ramen di Naritaya. Asakusa samalah seperti Ueno, ramai penuh orang, cuma pasarnya bukan pasar ikan seperti di Ameyoko. Barang yang dijual tetap kebanyakan merchandise dan juga ada mallnya.

Mencari Naritaya tidak sulit, kami dibantu keluarga Malaysia yang sepertinya juga baru habis makan dari sana. Sampai di Naritaya ramen, kami kalap. Pesan ramen dengan porsi large, ditambah chicken karaage. Sampe abangnya tercetus kalimat "Lapar ya" kepada kami, ya menurut abang ajalah... gimana cari makan di sini.

Lanjut Part 8

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...