Hehe... udah kayak yang punya pengalaman traveling segudang gayanya... Nggak kok, ini tips dari saya (gak pake aku lagi) berdasarkan pengalaman pribadi, jadi... pasti tidak akan lengkap dan bisa tidak relevan lagi kalau ada perubahan, karena saya ke sananya sudah lama. Tapi... semoga bisa membantu kalian pembaca yang nyasar ke blog ini, siapa tahu bisa jadi referensi kalau mau traveling terutama ke tempat-tempat yang sudah pernah saya datangi. Tips ini bukan yang termurah dan tersimple ya, ini adalah versi saya saja. Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai catatan saya kalau mau traveling lagi, setelah pandemi di Tahun 2020 ini Insya Allah sudah lewat.

1. Barang Bawaan
Terus terang saya ini banci foto.... 😅 walau nggak punya kamera bagus atau ahli mengenai seni foto memfoto, tapi bagi saya dokumentasi itu super penting dan laporan di Instagram itu wajib. Saya baru akan pulang kalau sudah mendapatkan foto yang diinginkan *pengidap narsis akut* Jadi... untuk bawaan di koper, kombinasi pakaian itu penting, baju, bawahan ditambah jilbab. Baju andalan biasanya dipakai untuk tempat yang paling ikonik. Bagaimana caranya, kalau bisa jangan sampai foto di suatu tempat, look nya sama persis dengan di tempat lain.... *yah walau masih ada juga sih yang sama*... Yang bikin sengsara itu kalau pergi ke negara 4 musim saat winter. Dilema harus bertahan hidup bawa coat atau pakaian lain. Jadi tipsnya kalau saya, yang penting coat, baju di dalam coat bisa pakai beberapa kali. Tapi pilih yang warnanya netral dan jangan ada coraknya. Untuk dalaman juga tidak perlu banyak, usahakan bisa nyuci dan jemur di kamar mandi (jangan lupa bawa beberapa hanger), perkirakan keringnya kira-kira 2 harian. Kemudian biasanya kalau hotel di negara saat musim dingin, jemur cucian kecil di kamar mandi malah akan tambah lembab. Jadi kalau saya biasanya jemur di kamar mandi hanya sampai airnya tiris *mie kali* alias tidak netes lagi, kemudian pindahkan ke kamar, karena biasanya suhu kamar bisa di atur jadi panas seperti hotel-hotel di Jepang. Jadi dengan meminimalkan baju, area di koper tidak begitu sesak. Untuk alas kaki, biasanya saya bawa sendal selain sepatu. Untuk negara tropis saya lebih suka pakai sandal. Untuk negara dingin, jangan lupa bawa kaos kaki, sarung tangan dan long john. Kalau sudah sangat dingin, saya malah tidur pake kaos kaki, jadi bawanya harus lebih dari satu. Untuk sarung tangan, usahakan yang bisa dibuka jarinya atau bisa touch screen supaya kalau saat di jalan bisa sambil buka hp untuk ngecek maps misalnya. Untuk alat sholat saya bawanya mukena parasut, agar bisa disimpan dengan lipatan sekecil mungkin. Saya tidak bawa sajadah, biasanya untuk alas saya pakai jilbab saja. Semua pakaian saya taruh di koper dalam bentuk gulungan, kecuali jilbab segiempat. Pengalaman saya di Jepang, terpaksa menyetrika lagi di hotel, karena jilbab yang jadi kusut semuanya setelah digulung. Jadi khusus jilbab saya lipat jadi 9, ini tujuannya agar bagian tengah yang pada saat dipakai posisinya pas dimuka, tidak ada bekas lipatannya. Pakaian digulung menghemat tempat di koper dan bisa diambil tanpa terganggu pakaian yang bertumpuk. Setelah pakaian dipakai, biasanya saya simpan kembali di koper tetap digulung, tapi terpisah menggunakan kantong plastik agar bau keringat tidak tercampur dengan pakaian bersih. Khusus di negara pada saat musim dingin, pakaian tidak akan berbau keringat. Saya malah jarang mandi kalau lagi dingin, 😎 dan dandanan bisa bertahan seharian tanpa terhapus oleh keringat.

Untuk handuk, saya biasanya hanya bawa yang kecil, inipun hanya sebagai cadangan, karena hotel pasti menyediakan. Lagian repot kalau mau pindah-pindah bawa handuk basah. Walaupun di hotel biasanya ada toiletries, tapi saya tetap membawa alat-alat mandi pribadi. Alat-alat mandi saya bawa versi mini semua, sabun cair, sampo, face soap, pasta gigi, sikat gigi yang bisa dilipat. Karena punya niat mencuci, saya bawa deterjen sachet. Alat-alat make up juga dibawa yang biasa dipakai saja, alat-alat makeup buat kondangan disimpan baik-baik saja di rumah 😁. Obat-obatan pribadi juga harus dibawa, terutama obat standar seperti obat pilek, sakit kepala dan demam. Kalau saya tambah counterpain dan koyo salonpas karena jualan kaki nggak ada di jalan 😪..... Jika ke negara dingin jangan lupa bawa pelembab muka dan bibir, karena akan terasa sangat kering, bibir bisa jadi pecah-pecah. Untuk makanan instan, biasanya saya bawa beberapa pop mie ukuran kecil, energen dan kopi sachet, ini untuk sarapan kalau terpaksa, jika tidak ada sarapan di hotel. Untuk sarapan ini, biasanya saya juga beli roti di jalan untuk dimakan besoknya saat sarapan. Saya pernah punya pengalaman menemukan mie cup di Macau dan Hong Kong yang memiliki label halal, tapi minta ampun pedasnya. Jadi kali berikutnya saya kurangi sedikit bumbunya dan supaya tetap ada rasa, saat di Hong Kong saya pernah nggak punya malu minta garam sedikit untuk dibawa pulang buat makan mie, sama mbak-mbak di rumah makan Kowloon 😋.

Untuk peralatan elektronik, biasanya selain hp, saya juga bawa kamera dan power bank. Semua benda ini tentu saja harus dibawa beserta chargernya masing-masing. Liburan saya nggak mungkin bawa laptop, tapi untuk pindah data sebagai backup, saya bawa OTG USB. Nggak mau kan kehilangan data selama di jalan, ya misalnya... (amit-amit) terjadi sesuatu sama kamera, kita tidak kehilangan data. Biasanya beberapa hari sekali selama di jalan saya backup data (foto dan video maksudnya). Untuk colokan listrik juga harus jadi perhatian. Sebaiknya bawa adaptor universal, dan kalau saya sekalian bawa kabel panjang, supaya bisa ngecas beberapa alat dan sekalian sharing sama teman jalan. Di Malaysia, Singapura dan Brunei, colokan listriknya 3 kaki, kalau memang nggak bawa colokan yang sesuai, sebenarnya ada sih caranya untuk yang alatnya 2 kaki seperti punya Indonesia, yaitu dengan menambah satu kaki lagi pakai pena misalnya untuk yang kaki tengah, tapi cara ini kadang berhasil kadang tidak. Untuk colokan di Jepang, 2 kaki juga tapi pipih, jadi kalau tidak bawa colokan yang sesuai, kita terpaksa pinjam atau sewa dengan pihak hotel. Bantal leher memang membantu saat kita terpaksa tidur di bandara atau untuk di pesawat dengan durasi panjang, tapi untuk saya, pernah sekali bawa... tapi luar biasa repot saat di jalan terutama kalau pindah-pindah kota, turun naik kendaraan umum seperti kereta bawah tanah, jadi saya cenderung tidak mau lagi membawa bantal leher kalau traveling.

Karena saya juga orangnya baik, selalu memikirkan orang lain sepulangnya traveling dengan membeli oleh-oleh, maka bawaan pergi dengan bawaan pulang pasti akan berbeda. Bawaan saat pulang pasti akan beranak pinak, oleh karena itu biasanya saya bawa tas tambahan lipat, yang baru akan digunakaan saat pulang. Oleh-oleh pun biasanya saya pilih yang kecil-kecil supaya bisa muat di tas, yang paling mudah pasti gantungan kunci dan magnet kulkas. Untuk rame-rame biasanya saya belikan makanan. Untuk negara yang muslimnya minoritas, agak susah kalau mau beli oleh-oleh makanan, di Tokyo ada di Laox Akihabara, sementara di Seoul ada toserba khusus muslim di Myeongdong di dekat restoran Kampungku di belakang Hotel Pacific. Spesial Seoul, oleh-oleh wajib adalah makeup dan skin care yang bertaburan di Myeongdong, semua ada...., asal tahan di dompet saja 😉. Untuk oleh-oleh pribadi, saya paling beli alat makeup dan dinner bell. Saya jarang beli baju, apalagi tas dan sepatu, karena akan sangat memakan tempat di koper. Mikirnya kan baju bisa beli di Indonesia *alat makeup juga kan ada di Indonesia ya cyinnn...*. Tapiiii... kalau sudah ketemu baju yang sangat ditaksir, oleh-oleh lain minggir dulu 😎.... haha... Jatah bagasi juga harus dipertimbangkan, standar saya 20an kg itu harus cukup. Tempat untuk membeli oleh-oleh ada banyak kan ya, tapi yang murah itu yang dicari, berikut ini beberapa tempat diantaranya, untuk beli oleh-oleh yang pernah saya datangi:
- Kuala Lumpur ---> Pasar Seni, Petaling Street
- Singapura ---> China Town, Bugis, Mustafa
- Bangkok ---> MBK, Suan Luam Night Bazaar (Chatuchak saya nggak pergi ke sana)
- Phuket ---> Jungceylong, Sepanjang jalan di Patong
- Macau ---> Sepanjang jalan menuju Ruins of St. Paul's
- Hong Kong ---> Ladies Market
- Tokyo ---> Daiso (rata2 100 yen), Sepanjang jalan Senshoji Temple (Nakamise Street)
- Kyoto ---> Sepanjang jalan Fushimi Inari
- Brunei Darussalam ---> Yayasan Hassanal Bolkiah
- Seoul ----> Insadong, Hongdae, Myeongdong untuk makeup dan skin care
- Ho Chi Minh ---> Di dalam Saigon Post Office

2. Uang
Ada banyak cara untuk membawa uang di luar negeri. Misalnya dengan kartu khusus transaksi seperti Jenius. Bisa juga dengan tarik tunai ATM berlogo khusus. Tapi saya tetap menggunakan cara konvensional dengan bawa uang tunai. Tarik tunai itu kalau terpaksa saja, dan dengan uang tunai, artinya sudah saya batasi bahwa budgetnya segitu. Pengalaman saya di Brunei, tidak bisa bertransaksi di ATM, entah apa masalahnya. Penukaran uang saya lakukan sebelum berangkat. Kalau memang tidak ada mata uangnya, saya tukar ke Dollar US dulu, seperti saat ke Macau dan Vietnam, ini pas sampai di negaranya terpaksa tukar di bandara, dan ratenya agak mahal. Kalau masih ada uang tunai sebelum pulang, pasti akan saya tukar lagi setelah saya sisihkan pecahan kecil untuk koleksi. Yang bisa ditukar lagi hanya uang kertas, uang logam saya habiskan untuk jajan sebelum pulang. Uang Jepang banyak menggunakan koin, karena pecahan kertas terkecil sebesar 1.000 yen yang setara dengan 136.000 rupiah, pengalaman saya yang kehabisan koin yaitu saat di Macau, karena di sana saya selalu naik bis dan bayarnya pakai koin. Di Vietnam tidak memakai koin, semua transaksi menggunakan uang kertas.

3. Dokumen-dokumen, Tiket Pesawat dan Hotel
Ini juga bentuk minimalisir resiko. Kalau saya juga selalu menyimpan dokumen-dokumen penting dalam bentuk softcopy di hp juga di email, mulai dari kartu identitas Indonesia KTP, SIM, kemudian paspor. Booking tiket pesawat dan hotel juga harus disimpan. Selain simpan softcopy, booking tiket pesawat dan hotel juga saya print agar tidak repot buka-buka hp lagi, saat tiba di hotel atau saat menghadapi petugas imigrasi yang minta bukti tiket pulang. Di pesawat, saya suka duduk di dekat jendela, saya biasanya saat check in pengennya kalau bisa di dekat jendela, kecuali kalau penerbangan malam, atau kalau sudah sering ke suatu tempat seperti ke Kuala Lumpur. Untuk Air Asia, saat memesan tiket pesawat ini harus bayar lagi kalau mau pilih tempat duduk. Untuk perjalanan durasi panjang, saya juga pasti sedapat mungkin pesan makanan halal, tapi untuk beberapa tujuan, ada juga maskapai yang tidak menyediakan makanan halal ini. Untuk hotel, rumus saya adalah harus strategis, kalau bisa dekat tempat makan, ada toserbanya dan dekat stasiun kereta atau bis. Ratenya bisa bermacam-macam tergantung negaranya. Pengalaman saya, Hotel yang mahal itu di Singapura dan Jepang. Yang paling murah pernah saya dapatkan secara beruntung tidak sengaja saat akan ke Phuket, pesannya saat Subuh... saya dapat sekitar 200 ribu dengan  lokasi hotel di dekat Pantai Patong, hotelnya baru dan bersih. Setelah saya selesai melakukan transasksi, harga hotelnya jadi naik lagi 😅. Hotel-hotel di Hong Kong berada di gedung-gedung Mansion yang biasanya ditempati beberapa hotel atau Guest House. Kamarnya sempit dengan harga standar, untuk sholat saja kadang nggak dapat spacenya sesuai kiblat. Sedapat mungkin saya pesan hotel harus yang privat dengan kamar mandi dalam, tapi di Tokyo saat Tahun baru dimana hotel-hotel sudah pada penuh, saya terpaksa menginap di hostel, walau masih kamar privat, tapi share kamar mandinya. Di Kyoto juga terpaksa share kamar mandi di Stay Inn Koto yang saya pilih karena pengen merasakan kasur futon khas Jepang, dan hotelnya menyediakan fasilitas itu serta dekat dengan Fushimi Inari. Di Korea, kasur dibawah itu namanya ondol dan saya juga coba supaya dapat feelnya pernah menginap di Hotel Mizo yang terletak di Myeongdong dengan nuansa Korea. Luar biasa alay ya... haha... 😅

Kasur Futon di Kyoto


Kasur Ondol di Seoul


4. Segala Macam Voucher
Apalagi ini maksudnya??... Kalau tidak mau susah saat membeli tiket masuk suatu tempat wisata, sebaiknya belinya dari Indonesia. Bisa dari toko online semacam Klook atau aplikasi lain. Pengalaman saya misalnya beli voucher untuk masuk Madame Tussauds dan Trick Eye Museum di Singapura, Combo N Seoul Tower, T Money, dan untuk transportasi seperti JR Pass, Kereta KLIA Express, Arex dari Incheon bahkan transportasi pribadi saat di Ho Chi Minh karena datangnya larut malam. Voucher bisa berupa QR code atau harus ditukar dengan tiket atau kartu asli. Khusus JR Pass di Jepang ini harganya luar biasa mahal sekitar 3,5 juta, tapiiii.... kalau pertimbangannya mau ke beberapa kota di Jepang, ini sudah menguntungkan dan praktis, karena JR Pass juga mengcover kereta JR Line di Kyoto dan Tokyo serta Narita Express selain Shinkansen ke luar kota seperti saat saya pp ke Kyoto. Sementara shinkansen itu tiketnya lumayan mahal kalau beli sekali jalan. Beli voucher online ini juga untuk menghindari antrian dan kehabisan tiket kalau beli di tempat.

5. Koneksi Internet
Ini... hal yang maha penting harus ada selama di jalan. Kalau dulu saya beli kartu lokal, misalnya Digi di Malaysia dan Singtel di Singapura, tapi sekarang saya lebih suka menggunakan paket international roaming yang bisa dipakai sekaligus di beberapa negara. Kelemahan kartu lokal adalah baru bisa diaktifkan saat beli, nah ini artinya harus melewati imigrasi dulu, jadi sebelum masuk imigrasi kita belum punya paket internet, trus kalau sudah pindah negara, kartunya tidak bisa aktif lagi, tapi di Macau ada kartu yang bisa juga dipake sekalian di Hong Kong. Untuk koneksi internet ini memang sih ada juga opsi lain seperti yang digunakan banyak traveler, misalnya kalau mau sewa pocket wifi, tapi saya nggak pernah pakai. Umumnya hotel-hotel akan menyediakan wifi, tapi kan kita juga butuh koneksi internet selama di jalan, terutama untuk membuka maps. Di Brunei, Telkomsel roaming tidak berlaku, pengalaman saya dulu tidak ada kartu lokal yang waktu aktifnya seminggu, jadi dapatnya yang agak mahal.

6. Survey Lokasi dan Transportasi
Pake internet sebelum berangkat maksudnya...Seorang traveler itu pasti pernah tersesat, tapi kita tidak mau kan tersesat terus menerus, rugi waktu dan tenaga jadinya. Kalau kita ikut tur sih nggak masalah, tinggal duduk manis, nggak perlu riset apapun. Tapi saya lebih suka jalan mandiri, ikut tur itu kalau memang harus, misalnya saat akan ke James Bond Island, kita harus beli paket tur kalau mau ke sana. Hari gini, dimana semua informasi bisa dicari, riset lokasi wisata sangat mungkin dilakukan. Dulu waktu saya masih newbie, jalan ikut saja sama teman jalan yang lebih ahli, tapi lama-kelamaan saya kan yang jadi senior dan lebih sering jalan, dan karena saya orangnya mendominasi kalau di jalan, maka artinya sayalah yang harus riset sebelum berangkat. Pengalaman jalan yang tidak siap seperti saat saya ke Singapura tahun 2015. Nyari hotel saja keliling-keliling hampir setengah Singapura rasanya, mana sambil nahan pipis rasanya seperti di neraka. Kemudian saat ke Merlion pake acara salah turun stasiun MRT lagi, ini repot karena artinya harus naik turun lagi ke stasiun MRT. Kemudian saat di Jepang, lebih parah lagi saat nyari hotel di tengah cuaca dingin. Pakaian belum siap, cuma jaket tipis, coat masih di koper...., kedinginan sambil ngeliatin maps yang nyasar-nyasar. Hotel juga kadang bukan di lantai 1, jadi nyasar lagi padahal alamatnya sudah benar, seperti pengalaman saya di Hong Kong. Jadi survey lokasi itu penting.... Sekarang kalau saya telah menentukan destinasi wisata yang akan dituju, akan saya searching "how to get there" nya, naik kereta turun di mana, pintu yang mana (stasiun bawah tanah pintunya pasti banyak), kalau bis nomor berapa dan info detail lainnya. Kemudian saya buka google maps dan cari lagi pakai view 3D supaya lebih jelas. Hampir semua lokasi saya dapatkan dari google maps 3D saat akan ke Korea dan Vietnam tahun kemarin. Dengan ini juga saya seolah merasa sudah pernah ke sana, jadi saat sudah benar-benar datang di lokasi, saya sudah sangat tahu mau lurus atau belok ke mana. Kalaupun masih bingung kan tinggal tanya-tanya sedikit ke orang lokal. Tapi cara ini tidak bisa dipakai kalau tempatnya tidak bisa dilihat di maps, saat ke Nami Island misalnya, mau cari patung Bae Yong Jun, yaaaa... masih nyasar juga... hahaha...

Untuk negara yang sudah punya transportasi memadai membuat kita jadi lebih mudah menuju tujuan. Kalau Indonesia sekarang punya MRT dan LRT, negara-negara lain punya berbagai macam kereta. Singapura punya MRT dan Monorel ke Sentosa Island, Malaysia punya Monorel, MRT, LRT dan Komuter, Thailand di Bangkok punya MRT dan BTS, Hong Kong punya MTR, Jepang punya jaringan kereta yang banyak, baik di Tokyo maupun Kyoto, nama linenya bermacam-macam. Di Tokyo, yang bentuknya melingkar dan mencakup tempat-tempat terkenal di Tokyo adalah JR Yamanote Line yang tercover juga dengan JR Pass, operasinya di atas, tapi untuk line lain operasinya di bawah tanah. Di Kyoto, keretanya semuanya di atas, bukan di bawah tanah. Stasiun keretanya juga kecil dan konvensional tidak seperti di Tokyo. Di Seoul, jaringan keretanya juga tidak kalah kusut, seingat saya dan kalau tidak salah, ada dua macam penamaan line. Kalau line yang namanya menggunakan angka, operasinya di dalam kota dan di bawah tanah, sementara yang menggunakan huruf operasinya ke luar kota dan berada di atas. Secara umum, beberapa stasiun MRT dan LRT ada di bawah tanah, kalau mau yang punya pemandangan bisa coba Monorel atau BTS seperti di Bangkok.

7. Aplikasi Pendukung
Sebelum berangkat, biasanya aplikasi yang harus ada di hp adalah maps (sudah pasti) yaitu google maps dan maps yang dipakai di negara yang dituju misal KakaoMap, arah kiblat, cuaca, aplikasi transportasi sesuai negara yang dituju misal KakaoMetro dan Tokyosubway. Jadi hp adalah benda yang maha penting selama di jalan, tapi juga harus ingat keamanannya, harus survey keamanan tempat yang dituju, jangan sampai lagi asyik buka-buka hp ngeliat maps di jalan, kemudian terjadi hal tidak diinginkan. Saking tidak diinginkan, tidak saya tulis ya...

8. Makanan Halal dan Sholat
Sebagai turis muslim, harus survey juga tempat-tempat makanan halalnya ada di mana saja kalau di negara yang bukan mayoritas muslim. Kalau masih di Singapura sih masih mudah cari makan, Thailand juga masih agak mudah. Kalau di Macau ada Lau Lang Islam Restaurant di dekat Ponte 16, di Hong Kong banyak makanan timur tengah seperti di Tsim Sha Tsui Kowloon dekat Masjidnya, di Ho Chi Minh saya sempat mencicip 2 makanan khas Vietnam di Kampung Pandan yaitu Pho dan Spring Roll, di dekat Pasar Ben Thanh juga ada The Daun Restaurant tapi saya tidak ke sana. Di Jepang, selama di Tokyo saya makan Nasi kebab di Pasar Ameyoko Ueno, Nasi Kari Jepang versi halal di Coco Ichibanya Akihabara dan Ramen halal di Asakusa. Di Kyoto, Yakiniku enak yang halal ada di Gion dan ada juga restoran halal di Yoshiya Arashiyama. Sementara di Seoul, saya hampir memakan semua makanan khas Korea versi halal, Bulgogi, Bibimbab, Tteokbokki, Odeng, Jajangmyeon, dan Samgyetang. Tempatnya, di Myeongdong ada Busan Jib, di Nami Island ada Asian Cuisine, di Itaewon nggak usah ditanya lagi, super banyak makanan halal di dekat Masjid Itaewon. Nggak khawatir gendut kalau makan banyak selama di jalan, karena apa yang dimakan bakal habis juga, karena energi yang harus dikeluarkan saat jalan. Selama jalan, saya juga sangat menghargai makanan, karena tahu susahnya nyari makan, seperti saat saya merasakan dingin-dingin di Kyoto nggak nemu makanan halal di sekitar hotel, jadi terpaksa hanya makan onigiri dan mie keras gara-gara air panas yang jadi dingin akibat hujan salju.... *langsing mendadak*

Selama traveling, untuk sholat, Subuh dan Isya bisa dilakukan di hotel, Magrib kalau tidak dapat waktunya, biasanya saya jamak dengan Isya. Nah untuk Zuhur dan Ashar, kalau bisa ketemu Masjid atau Mushola saat siang, biasanya saya jamak saat di waktu Zuhur, kalau tidak dapat.... bagaimana caranya bisa balik ke hotel saat masih ada matahari agar bisa jamak di waktu Ashar. Bawa mukena parasut juga agar mudah dimasukkan ke tas, karena beberapa tempat tidak menyediakan mukena. Berikut beberapa Masjid dan tempat sholat yang pernah saya temui di beberapa tempat di negara minoritas muslim:
- Phuket
Ada ruangan sholat kecil di James Bond Island
- Hong Kong
Masjid Kowloon di Tsim Sha Tsui
- Tokyo
   * Mushola Spirit Baru di Akihabara, ini adalah kantor yang juga membuka Mushola
   * Narita Airport, Prayer Room ada di Terminal 1 lantai 5
- Kyoto
Mushola di Restoran Yoshiya Arashiyama
- Seoul
   * Mushola kecil di Korea Tourism Organization (KTO building) di Cheonggyecheon Stream
   * Mushola di Restoran Kampungku dan Busan Jib Myeongdong
   * Masjid Itaewon
   * Di Nami Island, di lantai 2 Restoran Asian Cuisine
   * Incheon Airport, Prayer Room ada di gate 24

9. Sedikit Riset Mengenai Budaya, Situasi dan Kebiasaan Negara Tujuan
Orang Indonesia itu ya, kalau biasa tidak tertib... begitu di luar sana bisa bikin malu kalau tidak ikut tertib. Budaya yang paling mudah disebut misalnya antri. Orang-orang di luar sana sudah terbiasa dengan yang namanya antri untuk hal apapun. Di Kuala Lumpur, mau beli sarapan pagi saja pasti orang yang baru datang akan berdiri di belakang orang yang sudah duluan datang. Budaya antri ini juga sangat terlihat di tempat-tempat umum, seperti saat menunggu kereta atau menggunakan toilet. Saya pernah malu saat antri di toilet Hong Kong karena langsung berdiri di salah satu pintu toilet yang sedang digunakan, sementara orang yang baru muncul setelah saya, berdiri sebelum pintu toilet pertama yang kemudian diikuti oleh orang-orang lain yang baru datang. Untung pintu toilet yang saya tunggui langsung terbuka, jadi malunya saya tidak lama-lama. Trus kepalang ngomongin soal toilet, negara-negara seperti Thailand, Hong Kong, dan Korea biasanya toiletnya tidak ada semprotan air. Jadi kita hanya mengandalkan tissu untuk bersih-bersih, tissunya bisa langsung dibuang di toilet karena memang dirancang hancur kena air. Kalau yang nggak biasa tanpa air, mungkin bisa bawa botol kecil yang bisa diisi air di wastafel. Kalau di Jepang, toiletnya malah dilengkapi berbagai tombol, ada semprotan dari belakang maupun depan, juga ada musik suara airnya. Untuk tombol flush ada yang menggunakan sensor tangan. Tapi di Jepang, tetap ada juga toilet umum yang hanya menggunakan tissu untuk bersih-bersih.

Masih di Jepang, saat di kereta,  semuanya diam dengan kesibukan masing-masing, ada yang baca buku maupun sibuk dengan gadget masing-masing. Jadi nggak ada cerita segerombolan orang-orang yang heboh cekikikan atau ngegibah mengganggu orang-orang di sekitarnya. Di Jepang juga, saat kita berbelanja, untuk membayar kita menempatkan uang di atas nampan di dekat kasir, nanti kembalian juga diletakkan di sana, jadi bukan dari tangan ke tangan. Sepanjang kasir menghitung pembelian kita, dia juga akan terus mengoceh, ini katanya menyebutkan barang-barang yang kita beli *tapi pake Bahasa Jepang*, karena saya nggak ngerti, 😏... jadi biasanya saya mengangguk saja. Untuk merokok, jangan melakukannya sembarang tempat selama di Jepang, ada tempat-tempat khususnya di luar ruangan. Semua yang ingin merokok akan berkumpul di suatu tempat yang dibatasi oleh penghalang dengan tinggi sekitar bahu orang dewasa (orang Indonesia biasa nyebut ukuran begini, bukan ukuran satuan... 😅)

Beberapa tempat wisata juga menerapkan peraturan berpakaian. Untuk masuk ke Grand Palace Bangkok, harus menggunakan sepatu dan tidak boleh menggunakan celana pendek atau baju terbuka. Jadi di pintu masuk akan disediakan penyewaan untuk turis yang pakaiannya tidak memenuhi persyaratan. Tapi saya ke sana tahun 2010, entah sekarang masih berlaku atau tidak. Persyaratan pakaian ini juga ada seperti di Uluwatu Bali. Turis tidak boleh menggunakan pakaian yang pendek dan harus memakai kain yang disediakan di sana. Yang takut monyet, hati-hati saat ke Batu Caves Malaysia, ada banyak monyet sepanjang 272 tangga menuju ke atas. Sekalian ngomongin Bali, di Uluwatu juga banyak monyet, hati-hati megang hp atau kamera kalau nggak mau direbut sama monyet,... monyet di sana pada agresif, teman saya ada yang pernah ke sana sebelum saya, sendalnya direbut sama monyet. Pak Gede, sopir yang kami sewa mobilnya, memegang tongkat kayu untuk berjaga-jaga sepanjang kami berjalan, sok geer bakal diganggu monyet, eh ternyata kami dicuekin hari itu.... 😅

10. Visa
Ini dibutuhkan untuk ke negara-negara dimana Indonesia tidak bebas visa. Pengalaman saya mengurus visa adalah saat ke Jepang tahun 2018 dan Korea tahun 2019, dua-duanya pakai travel agent, karena tidak harus datang ke Jakarta. Syarat setiap negara beda-beda tergantung kebijakan masing-masing. Kalau Jepang sudah harus ada tiket pp ke Indonesia dan booking hotel, sementara untuk Korea harus ada bukti pajak. Secara umum syaratnya adalah bukti keuangan 3 bulan terakhir, foto, surat sponsor perusahaan, dan jadwal perjalanan. Yang paling harus disiapkan adalah bukti keuangan, tidak jelas batasannya berapa, tapi katanya sih uang tabungan harus cukup mengcover kebutuhan kita selama di negara yang dituju, misalnya 1 juta dikali berapa hari perjalanan. Uang tabungan jangan sampai banyak isinya tapi muncul tiba-tiba, ngerti kan maksudnya. Jadi arus keluar masuk uang harus normal dan wajar. Masing-masing negara juga punya form masing-masing yang harus diisi menyangkut biodata yang mengajukan visa. Yang menariknya di form visa Korea ada isian negara yang sudah dikunjungi beberapa tahun terakhir, dan untuk saya,... tempat isian formnya itu tidak cukup, karena beberapa tahun terakhir sebelum tahun 2019, saya sudah seperti setrikaan keluar masuk beberapa negara Asia.. *kibas rambut...* Belum hebat ya!! okeh... corona selesai, saya Insya Allah akan ke Eropa... 💪 eh salah... umroh dulu... 😁

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...