Tanggal 23 Desember 2013 adalah saatnya kami untuk berangkat ke Kuala Lumpur. Bersama Rini, Rara dan Cheri janjian jam 3 di bandara. Karena saia masih ada pelatihan *sok jadi orang sibuk* dari tanggal 22, jadinya tanggal 23 pagi, masih duduk manis mendengarkan materi dari nara sumber di Hotel Grand Zuri. Tapi sebenarnya hati dan pikiran sudah tidak disana lagi, tidak sabar untuk segera liburan....

Jam 12 lewat, buru-buru kabur setelah say goodbye sama Shinta yang masih dengan setia mengikuti pelatihan sampe selesai. Dalam perjalanan pulang ke rumah dianugrahi hujan deras sepanjang jalan. Masih bersyukur dan sekaligus berharap hujannya turun dengan tuntas sehingga nanti pas take off jam 6 sore langitnya sudah bersih sehingga pesawatnya tidak banyak goyang, karena aku paling takut naik pesawat kalau awannya banyak yang berwarna abu-abu.

Ini adalah perjalananku ke Malaysia untuk yang keempat kalinya. Pada perjalanan pertama, kedua dan ketiga, Malaysia adalah sekaligus negara transit sebelum aku ke Thailand dan Singapura. Tapi kali ini, jadwal kami hanya Kuala Lumpur dan Melaka, tidak ada lagi yang lain. So kali ini aku siap ngedapatin cowok Malaysia siapapun dia.... *say goodbye ke cowok-cowok Indonesia*

Jam setengah 4 aku sampai ke bandara. Ketemu Rara dan Cheri sementara Rini masih dijalan katanya. Dan lagi-lagi koperku selalu paling besar dibanding teman-temanku yang lain.... *why God*.... Kok bisa ya mereka membawa barang bawaan setengah dari yang kubawa, atau jangan-jangan mereka menggunakan mantra pembesar didalam koper mereka seperti Hermione.... #CurigaModeOn...

Berhubung mereka sudah check in sementara aku belum, maka aku jadi masuk duluan untuk check in. Karena bawaanku berat, aku memutuskan untuk memasukkan koperku ke bagasi. Sialnya tiket pergi belum termasuk biaya bagasi, cape deh... ini nih resiko kalau tiket tidak dipesan sendiri. Yah okelah aku lagi baik hati bayar ekstra demi bisa melangkah cantik ke pesawat tanpa harus repot bawa-bawa koper....

Akibat duit yang berkurang, aku jadi keluar lagi untuk mencari ATM. Gila nih belum berangkat udah bangkrut duluan. Nilai tukar 1 Ringgit saat ini Rp 3.800,- dan aku merasa bakalan kurang, kalau tidak ngambil duit lagi. Memang uang penginapan, transport dan permainan sudah dipegang Rini, Rara dan Cheri, tapi aku tetap harus bawa pegangan untuk berjaga-jaga.

Setelah Rini datang, kami naik ke atas menuju ke ruang tunggu. Pemeriksaan imigrasinya belum mulai sementara orang-orang sudah pada rame. Rini dulu kuliah di Malaysia, jadi dia sudah terbiasa, tapi Cheri dan Rara baru pertama kali melewati imigrasi. Tips penting dariku, supaya urusan lancar dan cepat, "Kasih lihat mereka tiket pulang", pasti dibiarkan lewat tanpa masalah....



Selesai pemeriksaan paspor dan botol-botol make up selamat, kami menunggu di ruang tunggu untuk melakukan ritual wajib, yaitu foto-foto sebelum berangkat. Satu yang kelupaan sebenarnya, yaitu menimbang berat badan sebelum berangkat untuk mengetahui berapa kilo nantinya berat badan akan bertambah saat pulang nanti, karena biasanya kalau sedang jalan-jalan, selain kalap mata belanja, aku juga pasti kalap makan.

Jadwal memang sudah dibuat oleh Ayu, dari tanggal 23 sampai 27 Desember, apa saja yang bakal kami lakukan, bagaimana caranya dan berapa biayanya. Tapi aku sudah pesimis dari awal kalau jadwal itu bisa tepat kami turuti. Misi utama kami adalah cari cowok, terutama untuk Rini dan aku... cowok yang mudaan buat Rini sementara yang tuaan #coret... yang dewasa buat aku kata mereka...

Saat di pesawat aku dapat tempat duduk terpisah dari yang lain, pas di pintu darurat tengah pesawat. Wah alamat bakal dipindah nih... Sementara di sampingku duduk anak cewek yang sepertinya masih SD sama bapaknya. Ternyata si bapak orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Malaysia, dia dan anaknya bahasanya Malaysia tulen. Saat pramugari Air Asia meminta anaknya untuk pindah, si anak merengek-rengek nggak mau pindah... "tak nak... tak nak...!.".  Karena aku juga disuruh pindah akhirnya aku ikutan ngebujuk si bocah supaya mau pindah sama-sama aku ke depan. Akhirnya dia mau dan aku jadi ketiban titipan si bapak buat jagain anaknya. Okelah nggak apa-apa jadi pengasuh dadakan dalam perjalanan liburan kali ini.

Sepanjang perjalanan tuh bocah ngoceh terus, yang harus kuladeni karena aku juga sebenarnya senang dapat teman ngobrol. Cuma masalahnya, sampai hari ini aku masih terkendala dengan bahasa Malaysia yang bagiku kadang tidak jelas maksudnya. Tapi nggak apa-apalah hitung-hitung latihan komunikasi dengan orang Malaysia sebelum tiba nanti. Saat pramugari sudah menjual makanan, si bapak dari belakang ngasih uang 100 Ringgit keanaknya untuk jajan, sekalian mau beliin aku minuman juga... Duh si bapak, bikin aku jadi malu... buru-buru kutolak, aku hanya ngebantu anaknya beli makanan yang dimaunya sementara niat untuk beli nasi lemak khas Air Asia yang baunya udah menyengat hidungku, aku urungkan...

Sibocah nanya aku berapa lama ke Malaysia dan tinggal dimana, aku gantian nanya dia sudah kemana saja selama di Palembang. Dia jawab salah satunya ke Amanzi.... oke deh aku kalah.... sampai sekarang aku saja yang seumur hidup di Palembang malah belum pernah ke sana.

Saat mendekati landing, lampu pesawat sudah dimatikan, tapi lampu sabuk pengaman belum dinyalakan, membuat sibocah ribut ke aku. Aku menenangkan sok bijak dengan mengatakan bahwa si mas pilot lupa, bentar lagi juga nyala, tenang saja.... Setelah lampu sabuk pengaman menyala, baru sibocah kritis diam dan ikut sibuk ngeliat keluar jendela. Satu pemandangan menakjubkan di luar jendela adalah....Lampu-lampu kota Kuala Lumpur di antara kegelapan yang sangat indah, terang dan sangat luas, menunjukkan suatu kehidupan modern yang terjadi nun jauh di bawah sana. Oke untuk kali ini, aku ngaku Palembang jelas  kalah...

Setelah mendarat dan memastikan si anak dan bapak bertemu kembali dengan happy endingnya, aku bergabung dengan 3 teman senasib sepenanggunganku untuk mengambil bagasi, membeli nomor Digi, cari makan dan cari bis ke Bukit bintang.

Tanpa ditunjuk dan diangkat, Rini sudah pasti menjadi juru bicara kami untuk semua keperluan, karena komunikasinya dengan orang-orang di sana yang paling baik. Saat sedang membeli nomor Digi, kami dikagetkan dengan 2 saudari setanah air yang histeris karena 3 teman mereka ditahan pihak imigrasi karena tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Rini berusaha menenangkan mereka, sementara mereka kebingungan karena pesawat ke Abu Dabhi berangkat jam 3 subuh. Rini menyarankan mereka untuk menunggu di mushola, dan syukurlah tak lama kemudian teman-teman mereka muncul  dan mereka girang bukan kepalang.

Selesai semua urusan di bandara, kami keluar untuk mencari makan. Kami makan di food court bandara, dan sekitar jam setengah 11 kami sudah naik ke bis yang akan membawa kami ke Bukit Bintang. Sambil menunggu bis berangkat, dalam suasana yang sepi, sayup-sayup radio bis memutar lagu "Shoulder to Cry On" nya Tommy Page... Sialan nih suasana sedih banget... dan tuh lagu bener-bener menyentuh... mengingatkan kalau aku sedang berada jauh dari rumah, di negeri sebrang,... #NgelapIngus,... lebay mode on...

Sampe di hotel, jam setengah 1...., kondisi kami saat itu 3 L... letih, lelah, dan lesu jadi satu. Menurut Rara hari ini misi mencari cowok gagal total. Hari pertama coret, lanjut hari kedua besok. Sementara Rini masih bernegosiasi dengan resepsionis yang masih muda dan lumayan keren sebenarnya, aku merasa sudah melayang setengah sadar... Sampai dikamar yang sempit, kami berempat langsung melakukan ritual masing-masing... setelah cuci muka, gosok gigi (tanpa mandi), ganti baju dan sholat, akhirnya aku tidur... tidak perduli dengan kondisi di luar jendela, dimana kebisingan jalan Bukit Bintang tetap berlangsung sampai pagi...

Lanjut Part 2

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...