Dulu aku pernah menulis keinginan mengunjungi beberapa tempat, dan alhamdulillah satu demi satu berhasil didatangi. Yang baru saja didatangi adalah Phuket, dan aku berhasil foto dengan batu James Bond... hahaha... *lompat dari batu James Bond*. Tapi sayang Mekah dan Hongkong sekitarnya tetap menjadi mimpi bagiku.... yah mungkin someday lah... kalau memang takdir bagiku, aku pasti akan ke sana.

Mulanya aku ingin memberi judul "Antri Berkepanjangan..." di postingan kali ini, tapi tidak jadi karena dulu waktu SD belajarnya kalau mengarang, ngasih judul harus mencerminkan seluruh cerita, sedang cerita "antriku" tidak sepanjang ceritanya nanti. Trus pengen juga ngasih judul "Jelajah Tiga Negara..." kata-kata ini kudapat dari beberapa rekan kerja yang ngebully pas mereka tau aku liburan ke tiga negara tetangga, kemudian kata-kata ini semakin diplesetin oleh mereka dan akhirnya berubah "disumpahin" jadi "Jelajah Tiga Benua..." tapi mikir lagi, nanti kalau mereka tau.... minta royalti, kan repot... hehe... Ya udah jadi judulnya sederhana saja "Obsesi Menuju Phuket...."

Tiga bulan yang lalu aku sudah ke Singapura, trus ngapain aku sekarang ke Singapura lagi, juga Malaysia lagi yang sudah berkali-kali aku datangi. Ini karena rencana perjalanan ini sudah dibuat jauh-jauh hari di Bulan Mei dan aku perginya dengan DP (inisial aja ya.... haha... nanti dia terkenal) yang belum pernah ke luar Indonesia. Sebelumnya mana aku tahu kalau di Bulan September aku dapat rejeki disuruh bos liburan ke Singapura. Tapi yah udahlah hitung-hitung nambahin cap di paspor baruku yang baru sedikit, paspor lama jumlah capnya 24, nah yang baru ini harus lebih dong...

Karena dipesan jauh-jauh hari, semuanya jadi murah. Rencananya naik Lion ke Batam, trus naik ferry ke Singapura, dilanjutkan bis ke Kuala Lumpur. Dari Kuala Lumpur baru bolak-balik ke Phuket naik pesawat apa lagi kalau bukan Air Asia. Pulangnya dari Kuala Lumpur langsung ke Palembang juga Air Asia. 2 malam di Singapura, 1 malam di Kuala Lumpur, 3 malam di Phuket dan 2 malam di Kuala Lumpur lagi, tiket pesawat dan hotel seluruhnya kurang lebih 4 juta untuk satu orang.... murah kannnn.....

Dana besar lain selain tiket pesawat dan hotel adalah ferry dari Batam, Bis ke Kuala Lumpur dan beli paket untuk ke Pulau-pulau di Phuket, semuanya beli nanti saja di tempat. Yang sudah dibeli lewat matahari mall secara online adalah tiket masuk ke Madame Tussauds dan Trick Eye Museum yang totalnya 355 ribu satu orang. Kurs SGD saat itu 9800, MYR 3200 dan THB 390.

Tanggal 24 Desember kami berangkat, karena masih pagi, jalan juga lewat rute baru dan sepi, kami tiba dengan cepat di bandara. Karena naik pesawat jam 7.30 pagi, aku optimis siang sudah sampai di Singapura, dan bisa langsung jalan. Dengan PDnya nyusun jadwal jam 1 paling lambat sampai hotel, makan siang terus ke Pulau Sentosa.

Perjalanan dimulai, pesawat sampai dengan selamat ke Batam diiringi doa kami. Ngambil bagasi dan naik taksi dengan ongkos 90 ribu rupiah ke Batam Center. Di sinilah cerita antri dimulai.... Siapa juga yang suruh pergi saat orang-orang lain pada liburan, resikonya gempor antri di mana-mana. Supir taksi sudah ngomong ramai, beli tiket belok kanan saat sudah masuk gedungnya, begitu belok kanan isinya sudah manusia semua....

Jembatan Barelang kah itu di bawah sana....


Hore... Saia menginjakkan kaki di Batam...


Ada beberapa pilihan ferry dan kami memilih untuk naik Ferry Sindo. Antriannya super panjang dan tidak jelas. Kenapa tidak jelas, karena banyak yang tidak tertib dan tidak kelihatan ada berapa loket yang bisa melayani kami karena ada tiang besar. Belum lagi beberapa orang tidak punya malu main serobot. Dengan sistem antrian yang menyebalkan seperti itu akhirnya dapat juga tiketnya, tapi yang jam 10.40 sudah tidak sempat lagi kami kejar, jadi ambil yang jam 11.30 dengan harga tiket kalau tidak salah 235 ribu satu orang.

Karena mood sudah sudah tidak bagus, walau lapar tidak minat makan, cuma beli roti saja, ke imigrasi dan mau menunggu saja di ruang tunggu, catatan penting dari perjalanan ini adalah, kami berdua masing-masing membawa koper yang lumayan berat, niat backpackeran tapi tetap mau agak elit dan bawa koper segede gaban.

Perjalanan ferry ditempuh kurang lebih sejam, Kalau waktu Indonesia datangnya kira-kira 12.30, tapi jika diubah ke waktu Singapura jadinya kira-kira 13.30, apa daya kesialan dimulai. Begitu kapal hendak merapat ke Harbourfront ternyata tidak langsung merapat ke daratan. Sepertinya antri untuk merapatnya, jadi hasilnya kami terombang-ambing di lautan kurang lebih sejam lagi. Begitu berhasil merapat kira-kira satu jam kemudian, belum masuk gedung imigrasi sudah harus antri lagi. Di sinilah kisahnya dimulai....

Pemandangan menuju Singapura


Pemandangan saat nyangkut antri mau melewati imigrasi


Antrinya panjannggggg tidak terkira, melihat lautan manusia rasanya putus asa mau balik lagi. Rencana awal mau makan siang di hotel sepertinya akan diganti menjadi makan malam di hotel. Kalau dihitung kecepatan kami pada saat mengantri mau masuk Singapura itu kira-kira 10 meter per jam.... siput aja kalah....

Status kami saat itu bete, capek, kusut dan terisolasi dari dunia luar. Kenapa terisolasi, karena kami tidak bisa menghubungi siapa pun atau eksis di manapun gara-gara sim card Indonesia yang sudah tidak bisa dipakai lagi dan belum ketemu sim card Singapura yang belum bisa dibeli. Di antrian yang berbentuk maze tersebut banyak anak kecil, kasihan banget ngeliat mereka harus ikut antri. Akhirnya salah seorang Bapak minta izin sama petugas imigrasi, karena bawa anak 3... mereka sudah capek, dan kebelet pipis. Petugasnya bilang, kalau dia izinkan, yang lain juga pasti mau ikut, benar saja begitu si Bapak, istrinya dan anak-anaknya keluar dari antrian, orang-orang lain yang bawa anak pada mau ikut di prioritaskan juga. Untung si petugas baik, walau dengan muka sewot dia tetap kasih izin duluan untuk yang bawa anak. Yang nggak bawa anak seperti kami, teteeepppp.... suabarrr.... antri dengan setia.

Beberapa "tahun" kemudian akhirnya kami berhasil keluar dari imigrasi. Kondisi saat itu tidak usah dibahas lagi... serasa baru ikut tantangan fear factor dan kami sebagai orang yang kalahnya.... Tanpa buang waktu lagi kami langsung mencari tempat yang paling dibutuhkan saat itu yaitu toilet. Habis dari toilet, menuju lantai bawah ke stasiun MRT Harbour Front menuju Bugis...

Sambil gotong koper bolak-balik naik turun eskalator kami berjuang menuju Bugis. Berdasarkan peta kami turun di stasiun Little India untuk lanjut ke Bugis, dan ternyata salah saudara-saudara. Peta itu belum berlaku, jadi kalau mau ke Bugis rutenya naik jalur hijau atau biru interchange di Chinatown. Duh... petanya bener aja sudah setengah mati naik turun eskalator bawa koper berat, ini pake acara salah turun stasiun lagi. Tangan udah merah, ditambah bego kaki kena ban koper yang sakitnya minta ampun. Oke saya setuju dengan kata orang-orang, mau hemat travelling... semakin lama waktunya dan semakin sengsara perjalanannya.

Setelah sampai di stasiun Bugis, kami mampir untuk membeli sim card baru Singtel seharga 15 SGD. Karena mahal dan kami cuma 2 hari di sana, aku cuma beli 1 sim card, si bb biar off dulu. Yang penting bisa akses GPS untuk nyari hotel kami malam itu. Keluar dari stasiun Bugis langsung bingung, kami muncul di Bugis Junction, tapi pintunya banyak sekali saat itu dan entah bagaimana arahnya. Androidku internetnya entah kenapa nggak jalan, sementara GPS DP ngawur. Ya udah karena ada nomor teleponnya maka DP nelpon ke 85 Beach Garden Hotel. Jawaban si resepsionis gak jelas katanya cari apa itu, ejaan dalam bahasa Cina, dari lampu merah belok kanan jalan dikit nanti sampe. Lah gimana... wong lampu merah di Bugis Junction aja lebih dari satu, yang dia maksud lampu merah yang mana. Ada sih taxi di Bugis Junction, tapi kami abaikan karena merasa sudah dekat. Nanya sama dua cewek, kami jadi tambah nyasar ke belakang Raffles hospital atas petunjuk mereka. Haus dan capek ditambah kebelet mau pipis lagi rasanya pengen nangis, sudah hampir magrib dan kami masih jalan kaki menggeret koper menggelandang tak tentu arah. Akhirnya aku punya ide naik taksi saja supaya pasti, masalahnya taksi tidak boleh sembarang stop mengangkut penumpang, diiringi dengan perdebatan dengan DP aku maksa kembali ke Bugis Junction lagi untuk antri taksi, walau jauh tapi yang penting pasti. Antri taksinya tidak terlalu panjang, tapi disampingnya ada lampu merah, jadi taksi tidak bisa langsung jalan begitu penumpang naik. Setelah kebagian taksi, kami menyerahkan alamat hotel yang kami cari, dan sopir taksi langsung menghidupkan GPS dan kami jalan. Karena jalannya one way kami jadi mutar sana mutar sini, dan sampai di lokasi dengan membayar 9 SGD. Luar biasa dah Rp 90.000,- untuk jarak sedekat itu, kalau nggak tersesat aku juga nggak akan kecicip naik taksi di Singapura.

Penderitaan belum berakhir, karena ternyata gedung tempat kami stop bukan hotel, tapi rumah makan. Nama jalannya sudah benar, tapi nomornya acak. Setelah belok kami ketemu hotel, tapi namanya Garden apa gitu nggak sama seperti pesanan kami. Aku nekat, DP tunggu di bawah nunggui koper kami, aku naik ke lantai 2 ke resepsionis, walau salah hotel paling tidak aku mungkin bisa pinjam toilet mereka. Sampe di atas aku ketemu petugas hotel itu dan dia bilang hotel kami belok kiri plangnya warna hijau. Akhirnya penderitaan kami berakhir, hari sudah gelap saat kami ketemu hotel yang memang tempatnya agak tersembunyi di belakang gedung-gedung. Resepsionisnya juga di lantai 2 dan kami dapat kamar di lantai 3. Lucunya lift hanya bisa sampai ke lantai 2, kalau mau naik lagi butuh kartu si resepsionis untuk naik ke kamar, kecuali turun yang tidak butuh kartu apapun. Syarat untuk jadi resepesionis di hotel itu jelas harus gesit dan tidak boleh mengeluh bolak-balik mejanya dan lift untuk ngurusin orang naik.

Buka pintu kamar langsung ngabur ke toilet. Setelah lega baru bisa ngomentari kamarnya. Kamar kami di Singapura ini sempit tapi lengkap dan bersih. Harganya 700 ribuan dalam rupiah, paling mahal diantara hotel kami di Malaysia dan Thailand yang kami pesan lewat Agoda. Jangan dibandingkan dengan kamarku di Grand Chancellor Orchard saat liburan Bulan September lalu yang hampir mencapai 2 juta satu malamnya. Inilah perbedaannya liburan elit dikasih Bos waktu itu dengan yang biaya sendiri saat ini. Dulu jam setengah 5 sore dari Palembang naik Silk Air, Magrib di bandara dan kurang dari sejam sudah sampai di hotel. Sekarang berangkat dari Palembang jam setengah 8 pagi sampe hotel pas Magrib.... emejinggg....

Oke lupakan Silk Air dan Grand Chancellor Orchard, sekarang saatnya cari pengalaman baru. Pelajaran hari ini untukku adalah:
1. Jangan pernah sok tau nyari hotel sendiri, naik taksi adalah solusi paling cepat.
2. Tidak usah lewat Batam kalau mau ke Singapura kecuali terpaksa dan harus bukan pada saat liburan

Habis mandi kami keluar nyari makan, karena keterbatasan makanan halal di sekitar hotel akhirnya kami memilih membeli makanan beku nasi briyani di Seven Eleven dan Pop Mi untuk sarapan besok.

Makan malam kami yang seadanya


Lanjut Part 2

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...